Sangia, Hui, Sang Hyang Dollar, dan Para Pembaca Bintang : Dokumentasi Pengetahuan Lokal Dalam Pengelolaan Kekayaan Alam

MASYARAKAT di berbagai tempat di Indonesia memiliki pengetahuan lokal dalam mengelola keanekaragaman hayati yang diturunkan secara turun-temurun melalui kerja dari mulut ke mulut. Tradisi ini diterjemahkan dalam bentuk anjuran, aturan, pantangan, hingga mitologi yang sering disebut sebagai kearifan lokal. Isinya mencakup berbagai macam pengertian masyarakat akan tanda-tanda alam, musim dan waktu bercocok tanam, cara bercocok tanam, konservasi pohon besar, perlindungan satwa dan lain-lain. Pengetahuan lokal sangat penting untuk menjamin keamanan, keselamatan, dan keberlanjutan, serta kemandirian masyarakat. Lebih lanjut, secara tidak langsung berkontribusi pada ketahanan masyarakat dalam menghadapi ketidakpastian dan perubahan iklim. Sayangnya, terjadi banyak proses penghilangan pengetahuan lokal tersebut di banyak tempat. Banyak aspek yang menjadi penyebabnya, mulai dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kearifan lokal, aksesibilitas yang menyebabkan kemudahan masuknya berbagai komoditas perusak lingkungan (pestisida, pupuk kimia, pewarna sintetis, sampah plastik, dll), tuntutan ekonomi, pengalihan fungsi lahan (membuka kawasan hutan), pergerakan industrialisasi dan modernitas, hingga konsekuensi perubahan zaman yang dianggap relevan oleh masyarakat itu sendiri. Desersi kearifan lokal tersebut juga terjadi di wilayah kerja GEF SGP OP6 yang meliputi Pulau Nusa Penida, Pulau Semau, Gorontalo, dan Kepulauan Wakatobi. Misalnya, masyarakat Pulau Nusa Penida mulai lupa akan keberadaan jagung gembal atau jagung bleleng (Shorgum sp.) setelah Pemerintah Indonesia mendorong konsumsi beras secara nasional. Padahal, jagung bleleng merupakan komoditas penyelamat pada saat-saat sulit tertentu, yaitu cuaca buruk dan gelombang tinggi yang menyebabkan pasokan pangan dari pulau Bali terhambat. Hal yang sama juga terjadi di Pulau Semau. Serbuan benih jagung hibrida menyebabkan konsumsi dan penanaman jagung atau jagung manis menurun drastis. Masyarakat tidak hanya kehilangan komoditas jagung lokal, tetapi juga kehilangan pengetahuan tentang teknik pengawetan jagung, seperti menggunakan abu bakar kayu mahoni, dan seiring dengan itu, mereka juga kehilangan tradisi kesenian yang mengikuti proses tersebut. Hal serupa terjadi di Wakatobi. Dulu, masyarakat waspada dan mematuhi larangan penebangan hutan di dekat mata air. Larangan tersebut kini telah diabaikan dan akibatnya banyak mata air menjadi payau dan terasa asin akibat intrusi air laut. Demikian juga yang terjadi di Gorontalo, Panggoba tersingkirkan karena dianggap tidak sesuai dengan aturan yang berlaku saat ini. Banyak ancaman ekologis yang muncul akibat hilangnya kearifan lokal masyarakat. Kelalaian teknik pengelolaan lahan tradisional menyebabkan kemandulan lahan, penggunaan pestisida kimia menyebabkan jenis hama baru tumbuh ganas dan tidak terkendali, penyakit tanaman cepat menyebar, dan masyarakat harus bergantung pada komoditas dari luar. Hal ini menyebabkan kemerosotan ketahanan masyarakat, meningkatnya kemiskinan, dan yang paling terancam adalah keselamatan masyarakat. Global Environment Facility – Small Grant Programme (GEF-SGP) adalah sebuah program dana hibah kecil untuk mendukung kerja-kerja, inisiatif, dan inovasi akar rumput dalam menghadapi ancaman ekologisnya. Berdasarkan pengamatan GEF SGP Indonesia selama lebih dari 25 tahun berkegiatan, ancaman ekologis umumnya muncul karena berkurangnya pemahaman atau keberpihakan terhadap kearifan lokal. Program GEF SGP mendukung inisiatif komunitas yang bertumpu kepada kearifan lokal untuk mengurangi ancaman ekologis suatu wilayah. Beberapa kegiatan komunitas/Lembaga Swadaya Masyarakat untuk menghimpun dan menyebarluaskan kembali kearifan lokal yang terkait dengan pengelolaan keanekaragaman hayati yang ada di empat wilayah kerja GEF SGP OP 6 didukung melalui pendanaan GEF SGP Fase Operasional ke-6. Buku Sangia, Hui, Sang Hyang Dollar, dan Pembaca Bintang ini disusun untuk menceritakan kearifan lokal yang ada dalam masyarakat, baik yang masih ada atau pun yang sempat ada. Bagaimana kearifan lokal itu dijalankan dalam melaksanakan inisiatif yang didukung oleh GEF SGP, seperti penanaman kembali beras hitam di Pulau Semau, penanaman pangan lokal di pulau-pulau kecil untuk ketahanan pangan, kembali menjalankan panggoba di Gorontalo, dan banyak lagi kegiatan lainnya.