
(30/5) Sisa hujan masih menggantung di ujung pelepah aren saat Sri Puswandi mengangkat pandangannya ke lereng. Di kejauhan, rombongan tamu menyusuri jalan setapak, langkah mereka terhenti sejenak tiap kali melihat batang aren menjulang.
Bunyi klewang petani memecah sunyi pagi di Desa Bajiminasa—sebuah desa di pelipir hutan yang jadi jantung denyut petani gula aren Balangtieng. Di sanalah isu iklim global dan kisah lokal bertemu dalam sebuah kebun, segenggam nira, dan nasib yang bergantung pada cuaca.
Dana Mitra Tani (DMT) Bulukumba menerima kunjungan GEF SGP Indonesia bersama tim peneliti nasional dan internasional pada Jumat, 30 Mei 2025.
DMT Bulukumba, lembaga yang selama ini aktif mendampingi petani aren di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Balangtieng, Sulawesi Selatan.
Dampak perubahan iklim
Fokus utama mereka adalah riset mendalam mengenai dampak perubahan iklim terhadap petani aren, sebuah komoditas penting dari hutan rakyat Sulawesi Selatan yang selama ini menjadi penopang ekonomi desa.
Selain aren, riset ini juga mencakup komoditas kehutanan lainnya seperti kakao, kopi, dan cengkeh.
“Kami ingin mendengar langsung dari para petani, melihat prosesnya, memahami tantangan mereka sehari-hari,” ujar Prof. Eduardo De La Peña dari Ghent University, pakar pertanian tropis yang turut dalam kunjungan.
Bersama Koordinator GEF SGP Indonesia, Sidi Rana Manggala, akademisi dari Universitas Brawijaya dan Universitas Hasanuddin, serta pendiri AMATI Indonesia, kunjungan ini menguatkan pesan bahwa isu perubahan iklim bukan hanya narasi global — tapi nyata dirasakan hingga ke ladang-ladang gula aren.
Membangun sinergi
Menurut Sri Puswandi, sapaan akrab Ketua DMT, kehadiran tim riset adalah langkah strategis untuk membangun sinergi antara petani, peneliti, lembaga pendamping, dan pemerintah. Lokasi diskusi berlangsung di Desa Bajiminasa, Kecamatan Rilau Ale, sebuah titik penting dalam bentang alam DAS Balangtieng.
“Kami bukan hanya mendampingi, tapi ikut memastikan bahwa pengetahuan lokal bisa menjadi dasar kebijakan adaptasi iklim yang berkelanjutan,” ujar Bung Wandi, sapaan akrabnya.
Diskusi berlangsung hangat, melibatkan petani dari berbagai desa, memperlihatkan bagaimana adaptasi mereka terhadap anomali cuaca, penurunan produksi nira, dan pergeseran musim panen.
Para ilmuwan itu mencatat, memotret, dan merekam—bukan sekadar data, tapi suara kehidupan dari DAS Balangtieng.
Salah satu tantangan utama yang terungkap adalah ketergantungan pada alam tanpa jaminan perlindungan iklim.
Kebutuhan akan inovasi agroforestri berbasis iklim, dukungan pasar adil untuk produk gula aren, dan akses teknologi sederhana menjadi sorotan utama.
Kegiatan ini membuka ruang baru bagi kolaborasi internasional untuk penguatan petani aren di kawasan rentan iklim, seperti yang digaungkan oleh GEF SGP Indonesia sebagai bagian dari Program Lingkungan PBB (UNEP).***

