Selama 20 tahun terakhir, Gorontalo telah menjadi saksi akan berbagai dampak perubahan iklim. Salah satu wajah krisis ini adalah menghilangnya sejumlah Daerah Aliran Sungai (DAS)—cekungan alami yang berfungsi menampung dan menyalurkan air hujan—di seluruh Gorontalo. Data geografis yang dikumpulkan oleh Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDAS-HL) menunjukkan hanya 27 dari 520 Daerah Aliran Sungai di seluruh Gorontalo yang masih berfungsi aktif; sisanya dalam kondisi kritis. Hal ini menyebabkan air sungai menjadi keruh pada musim penghujan, sementara kekeringan parah melanda ketika musim kemarau tiba.
Salah satu dampak dari krisis yang melanda Daerah Aliran Sungai ini tampak jelas pada Danau Limboto, yang menjadi daerah hilir dari 23 sungai yang mengaliri Gorontalo. Catatan sejarah pada 1932 menunjukkan bahwa luas Danau Limboto mencapai 8,000 hektar, dengan kedalaman 30 meter. Berdasarkan paparan oleh Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Provinsi Gorontalo, Budianto Sidiki, Danau Limboto saat ini hanya memiliki kedalaman 2,5 meter dengan luas 2,357 hektar. Dengan laju ini, Danau Limboto diperkirakan akan benar-benar kering pada tahun 2025.
Namun, perubahan iklim tidak hadir dalam satu krisis besar yang langsung muncul dalam semalam. Sejumlah pertanda akan petaka yang kian tampak membesar hadir satu-persatu, mengambil aneka wujud yang berbeda—dimana pendangkalan Danau Limboto hanya salah satunya. Pada 2015, warga Gorontalo juga merasakan musim kemarau berkepanjangan dan perubahan pola musim hujan yang menyebabkan gagal panen dan krisis air bersih. Minimnya literasi akan krisis iklim serta peran masyarakat dalam merawat alam, hutan, dan menerapkan pola hidup berkelanjutan—semuanya memperparah perubahan iklim yang kita rasakan hingga saat ini.
Krisis ini tidak hanya menyoal sungai dan wilayah pegunungan: wajah kawasan pesisir di Kabupaten Pohuwato pun mengalami perubahan setelah warga menebang kawasan hutan bakau guna membuat tambak-tambak rakyat. Padahal, hutan bakau memiliki peran besar menghalau krisis iklim dengan memproduksi karbon biru yang berfungsi sebagai regulator suhu alami dan menjaga bumi agar tidak terlalu panas. Sebaliknya, kawasan bakau justru diperjualbelikan tanpa pertimbangan yang lebih mendalam antara keseimbangan ekologi dan kebutuhan sosial-ekonomi manusia yang bernaung di dalamnya.
Siasat Merawat Bumi
Kabar baiknya, tidak semua masyarakat Gorontalo hidup dalam ketidakpedulian. Perlawanan untuk menghalau dampak perubahan iklim pun hadir dalam beragam praktik dan siasat. Sebagai contoh, Masyarakat Satuan Pemukiman 3—sebuah daerah binaan transmigrasi di Gorontalo—telah menerapkan sistem perkebunan berkelanjutan dalam wujud terasering, yakni menanam tanaman di lahan dengan kemiringan di atas 30 derajat. Praktik ini berguna dalam merawat kandungan unsur hara dalam tanah dan mencegah terjadinya longsor kala hujan deras.
Pak Bunairi merupakan salah satu pelopor sistem pertanian terasering di Gorontalo. Kebiasaan warga Gorontalo untuk menanam jagung pada lahan dengan kemiringan di bawah 30 derajat menyebabkan unsur hara dalam tanah hilang setelah penggunaan tiga sampai empat tahun saja. Dengan model terasering, tanah dapat digunakan terus-menerus dan diwariskan ke generasi selanjutnya.
Wawasan pak Bunairi ini kemudian menjadi ilham berharga bagi masyarakat setempat. Selain mengadopsi sistem terasering, mereka sekarang tidak lagi melakukan pembakaran atas rumput liar yang tumbuh di kebun mereka, melainkan mengolahnya menjadi pupuk organik menggantikan pupuk kimia dan pestisida. Berbagai unsur ekosistem—yang dulunya dianggap hanya mengganggu kehidupan—kini dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Siasat lainnya hadir dalam rupa praktik warga Torosiaje Serumpun, Kabupaten Pohuwato, dalam merawat laut yang menjadi sumber penghidupan utama mereka. Sepuluh tahun belakangan, masyarakat adat Bajau yang hidup di wilayah ini mulai menanam bakau untuk menghalau krisis iklim di wilayah mereka—sebuah krisis yang berdampak langsung terhadap perubahan pola cuaca untuk melaut, berkurangnya hasil tangkapan, hingga ukuran ikan tangkapan yang kian mengecil.
Salah satu tokoh warga Torosiaje Serumpun yang terlibat langsung mengelola dan menanam bakau di wilayah tersebut adalah Umar Pasandre. Bersama warga lainnya, Umar sukses menahan laju erosi dan mempermudah nelayan yang tidak bisa melaut karena cuaca buruk: kini, mereka bisa langsung memancing ikan di area hutan bakau sepanjang pesisir Torosiaje.
Perlahan, warga kembali menyadari pentingnya hutan bakau bagi seluruh sisi kehidupan mereka—dari perkara memenuhi penghidupan hingga perlindungan dari bencana alam seperti tsunami. Menurut Umar, orang Bajau sendiri memiliki pengetahuan historis akan fungsi hutan bakau untuk berlindung dari ombak besar, bahkan menghalau diri dari ancaman perompak laut.
Krisis iklim memang ancaman besar yang terus menghantui seluruh penghuni planet bumi. Namun, warga Gorontalo menunjukkan bahwa terdapat berbagai praktik yang dapat dihidupi oleh orang-orang di dalamnya untuk menjaga kelestarian hutan, merawat sungai dan aliran air, menerapkan praktik berkebun yang berkelanjutan. Tanah, air, dan udara—semua bagi kehidupan generasi selanjutnya.
https://newnaratif.com/journalism/krisis-iklim-dan-kelentingan-masyarakat/share/znggfheehfpb/a018cb75ee1332b6788a85eeaa95c682/