Selama beberapa dekade, warga di desa Batuinan yang dilanda kekeringan di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) harus berjalan jauh di bawah terik matahari untuk mendapatkan air bersih dari mata air. Kini, di bawah pengawasan sosok nenek yang sangat dihormati, penduduk desa dapat dengan mudah mengakses air dari tangki terdekat, yang ditenagai oleh sinar matahari.
Kemudahan akses air ini terwujud setelah selesainya sistem pompa air bertenaga surya oleh UNDP Indonesia, dengan pendanaan dari Global Environment Facility (GEF)-Small Grants Programme. Bekerja sama dengan kelompok masyarakat setempat, Yayasan Cemara, sistem pompa air ini dibangun dengan tangki air berkapasitas 3.300 liter.
“Kami sangat senang dengan tangki air ini. Sekarang air ada dalam jangkauan kami,” kata Nenek berusia 75 tahun, Hectoreda Ukat, yang berperan penting dalam penyelesaian tangki, salah satunya dibangun di halaman belakang rumahnya.
Namun memastikan penyediaan air yang merata bagi masyarakat di Desa Batuinan bukanlah hal yang mudah. Hal ini membutuhkan sosok yang terpercaya dan berwibawa serta mendapat rasa hormat dari masyarakat setempat. Terletak di jantung pulau Semau yang terpencil, desa ini tidak terlayani dengan baik dengan jalan dan sistem transportasi yang baik, sehingga memaksa masyarakat untuk mandiri dalam mencari sumber penghidupan.
Setiap pagi Ibu Ukat, yang akrab disapa Nenek Eda, mengawasi distribusi air ke 19 keluarga di desanya. Setiap keluarga diberikan jatah tiga jerigen yang dapat diisi antara pukul 07.00 – 09.00. Sistem rasio ini menjamin pemerataan air sehingga tidak ada keluarga yang tertinggal.
“Kadang-kadang mereka ingin membawa lebih dari tiga jerigen, itu membuat saya sedih,” kata Nenek Eda, seraya mencatat bahwa keluarga yang lebih besar sering kali membutuhkan lebih dari tiga jerigen sehari dan seringkali meminta kapasitas tambahan.
Untuk menjaga dan meningkatkan pasokan air, Yayasan Cemara, bersama beberapa kelompok masyarakat lokal lainnya seperti Geng Motor Imut (GMI) dan CIS Timor juga telah bekerja sama untuk memfasilitasi penanaman kembali daerah tangkapan air terdekat.
Meskipun keterbatasan infrastruktur masih menjadi tantangan utama, masyarakat juga dihadapkan pada kendala lain seperti ancaman terhadap kelestarian lingkungan dan potensi konflik sosial akibat kelangkaan sumber daya. Pulau Semau adalah rumah bagi beberapa komunitas yang sebagian besar bersifat patriarki di mana laki-laki mempunyai hak suksesi otomatis. Penunjukan Nenek Eda sebagai Doha Bating Ui atau perempuan mana pun belum pernah terjadi sebelumnya, namun masyarakat bersatu untuk mempercayai Nenek Eda karena reputasinya yang terhormat dan kualitas kepemimpinannya.
“Saya Merasa Terhormat Dengan Penunjukan Ini, Tapi Yang Terpenting Adalah Tetap Adil Kepada Semua Keluarga. Semua orang di desa ini berhak mendapatkan air bersih, baik untuk mandi, memasak,” kata Nenek Eda.
Untuk menanamkan rasa tanggung jawab bersama, warga diharuskan menyumbang sekitar Rp 5.000 hingga Rp 10.000 (USD 0,35 hingga USD 0,70) per bulan untuk biaya pemeliharaan.
Akses yang dapat diandalkan terhadap air bersih dan sanitasi masih menjadi masalah di Indonesia, negara dengan populasi terbesar keempat di dunia. Menurut UNICEF Indonesia, buang air besar sembarangan dan air limbah yang tidak diolah mencemari pasokan air dan memfasilitasi penyebaran penyakit diare seperti kolera. Seperempat dari semua anak di bawah usia 5 tahun
Indonesia menderita diare, yang merupakan penyebab utama kematian anak di negara ini.
Dengan kepemimpinan perempuan yang kuat, masyarakat di Batuinan telah menunjukkan kepada dunia bahwa kearifan para lansia dapat menandai awal baru dalam mendapatkan akses air bagi semua orang.
–
Tulisan Aditya Widya Putri
Disunting oleh Ranjit Jose dan Tomi Soetjipto
Fotografi oleh Edy Susanto untuk Perkumpulan Kaoem Telapak
https://www.id.undp.org/content/indonesia/en/home/presscenter/articles/2021/WorldWaterDay2021.html