URAIAN PELAKSANAAN PROGRAM
Perburuan Harta Karun
Mencari, Mengumpulkan, dan Menemukan Kembali Pengetahuan Lokal
- Kegiatan mencari, mendokumentasikan pengetahuan lokal yang hilang dilakukan di empat wilayah kerja GEF-SGP fase 6 yang meliputi Pulau Nusa Penida, Pulau Semau, Gorontalo, dan Wakatobi.
- Dilakukan sejak September 2018 dan dibagi menjadi dua tahap, yaitu : riset lapangan di 4 wilayah kerja GEF-SGP fase 6 dan pertemuan antar kampung.
- Di lapangan terjadi perubahan jadwal. Riset lapangan baru dimulai pada awal tahun 2019 karena menyesuaikan dengan agenda adat, cuaca, ketidakpastian aktivitas narasumber.
- Pertemuan antar kampung mengalami kemunduran jadwal yang semula akan dilaksanakan di Wakatobi, akhirnya dilaksanakan di Nusa Penida pada awal Desember 2019. Hal ini terjadi karena penyesuain kalender adat, kondisi narasumber, budgeting, juga akses kemudahan lokasi pelaksanaan kegiatan.
URAIAN PELAKSANAAN PROGRAM
RISET LAPANGAN
Kegiatan mencari, mendokumentasikan
Foto 1 dan foto 2: Berdialog dengan tokoh adat di desa Tanglad dan desa Batukandik-Nusa Penida.
Foto 3: I Made Rama sedang menggambar sistem pengairan Cubang.
Foto 4: Berdialog dengan petani rumput laut di Desa Suana Nusa Penida yang sampai saat ini masih bertahan.
Foto 5, 6 dan 7: Berdialog tokoh masyarakat di Desa Suana, Ped, Pura Batu Medau dan Batumadeg, Nusa Penida.
Foto 8, 9 dan 10: Berdialog dengan tokoh masyarakat (Bp Kalvin, Bp Pong, Bp Tom, kaum muda di Desa Uiasa, Semau terkait dengan sumber air dan pengelolaannya, sumber pangan lokal, keberadaan hutan juga ritual budidaya dari dulu hingga sekarang.
Foto 11: Salah seorang imblingin (dukun bayi) yang masih tersisa di Pulau Semau. Imblingin ini menguasai pemanfaatan tanaman lokal untuk penyembuhan dan perawatan ibu melahirkan dan anak yang dilahirkan.
Foto 12, 13: Berdialog dengan tokoh masyarakat dan salah satu kakak ama (tuan tanah) di pulau Semau.
Foto 14: Berdialog dengan salah seorang tetua di Desa Uitiuhtuan. Di Semau ada kepercayaan bahwa seseorang tua yang menceritakan pengalaman atauu hal-hal yang terkait dengan sejarah dan cerita-cerita tentang leluhur, seseorang tersebut akan segera meninggal. Sehingga, ada beberapa orang yang dituakan enggan untuk menuturkan pengetahuan mereka.
Foto 15: Pertemuan dan dialog dengan tokoh masyarakat dan imtehen (dukun patah tulang) di desa Batuinan, Semau. Di sini ditemukan pengetahuan terkait dengan membaca tanda-tanda alam, kalender musim, sejarah Semau dan peralihan pertanian, masa panen ikan, lingae, dan tradisi lainnya dari klan Putis Lulut.
Foto 16: Pertemuan dan dialog dengan tokoh masyarakat di desa Uiboa yang kini memilih hidup di tengah hutan bersama istrinya yang sehari-hari menganyam dedauan menjadi berbagai macam produk.
Foto 17: Dialog bersama warga dan stakeholder di Gorontalo.
Foto 18: Berdialog dengan Sugeng Sutrisnon, salah seorang aktivis LSM yang konsen di isu-isu lingkungan.
Foto 19: Salah seorang pengrajin anyaman.
Foto 20: berdialog dengan Bukhari Boroma (salah seorang kepala desa di Gorontalo).
Foto 21: Berdialog dengan salah seorang Panggoba. Panggoba ini merupakan tokoh masyarakat yang menguasai ilmu perbintangan dan seluk beluk pertanian. Di masa lalu, posisi panggoba adalah sebagai menteri pertanian wilayah.
Foto 22: Daerah perkampungan transmigran di Gorontalo.
Foto 23: Salah satu aktivitas menebang pohon sagu untuk pembuatan sagu.
Foto 24: Bonari, salah seorang petani trasmigran dari Jawa Tengah yang berhasil mengembangkan model pertanian terasiring di Nantu-Gorontalo.
Foto 25: Jagung menjadi salah satu makanan pokok masyarakat selain sagu.
Foto 26: Dialog awal dengan Yayasan Forkani, Wakatobi.
Foto 27, 28, 29: Berdialog dengan tokoh masyarakat dan tokoh adat di Kaledupa.
Foto 30 : Aktivitas para aperempuan mengikat dan memanen rumput laut.
Foto 31, 32, 33, 34, 35: Beberapa jenis pangan lokal dan olahan pangan lokal di Wakatobi. Olahan pangan lokal yang familiar di Wakatobi adalah Soami. Soami dibuat dari ketela pohon. Di Wakatobi terdapat berbagai jenis ketela pohon. Di Wakatobi juga dikenal mode penyimpanan pangan di ladag-ladang. Artinya, lumbung pangan masyarakat Wakatobi adalah apa yang mereka tanam.
Foto 36, 37, 38: Berdialog dengan para tetua yang menguasai pengetahuan soal membaca tanda alam, memanfaatkan berbagai jenis tanaman untuk kesehatan, kerajinan.
Foto 39, 40: Alat-alat tradisional yang digunakan untuk menangkap ikan.
Pertemuan antar kampung
Diselenggarakan di Pura Puser Saab, DesaBatumadeg Nusa Penida pada 30 November-2 Desember 2019. Dikemas dalam dialog belajar bersamakomunitas dengan tema “Paruman Nusa”. Dalam pelaksanaannya, kapasungu bekerjasama dengan Komunitas Wisanggeni, Panitia Pura Puser Saab, Sekaa Gong Desa Batumadeg, dan warga desa Batumadeg. Adapun peserta yang hadir adalah perwakilan dari empat wilayah yaitu : satu orang dari Semau, satu orang dari Wakatobi, dua orang dari Gorontalo, satu orang dari Nusa Penida, satu orang dari Nusa Lembongan, warga desa Batumadeg, undangan mitra GEF-SGP, undangan kelompok masyarakat, NGO, akademisi, perwakilan camat Nusa Penida dan perwakilan dari masing-masing desa di kecamatan Nusa Penida. Total peserta pertemuanl intas generasi ituada 100-an orang. Kegiatan diawali dengan Persembahan Gong dari Sekaha Gong DesaBatumadeg dilanjutkan dengan sambutan-sambutan dan paparan hasil temuan riset di empat wilayah, kemudian dilanjutkan dengan acara inti yaitu berbagi cerita denganmasing-masing perwakilan wilayah dan diakhiri dengan ringkasan singkat sekaligus sebagai rekomendasi hasil belajar bersama.
Foto 41, 42: Perwakilan dari empat, Nusa penida, Semau, Wakatobi dan Gorontalo.
Foto 43, 44: Pemaparan hasil riset lapangan oleh Kapasungu dan sambutan dari GEF-SGP Indonesia.
Foto 45, 46, 47, 48: Warga, bendesa adat Klumpu (I Wayan Darya Susila) dan kepala desa Batumadeg ( Imade Mustika) aktif terlibat dalam kegiatan dialog belajar bersama komunitas. I Wayan darya Susila bercerita mengenai pengetahuan zaman dulu terkait keahlian membaca tanda-tanda alam untuk sistem pertanian di Nusa Penida. Sedangkan I Made Mustika banyak bercerita mengenai kondisi masyarakat di desanya.
Foto 49: Perwakilan dari Nusa Lembongan (Suarbawa) bercerita mengenai budaya menanam rumput laut yang sempat hilang karena pariwisata. Saat ini, budidaya rumput laut di Lembongan mulai digalakkan lagi.
Foto 50: Perwakilan dari Wakatobi Yanti) sedang menceritakan keanekaragaman pangan lokal beserta pengetahuan masyarakat terkait dengan pembacaan tanda alam dan pelestarian lingkungan.
Foto 51: Salah seorang Panggoba dari Gorontalo (Danggu Nani) menceritakan peran, fungsi Panggoba, pengelolaan lingkungan dan sistem pertanian di Gorontalo.
Foto 52, 53, 54: Paruman Nusa melibatkan Sekahaa Gong desa Batumadeg yang terdiri dari lintas generasi (Tua, muda, anak-anak) untuk turut serta meramaikan dialog belajar bersama komunitas.
CAPAIAN KEGIATAN
Dari riset lapangan yang dilakukan di empat wilayah menghasilkan dokumentasi pengetahuan yang sudah/ hampir hilang kemudian ditulis dalam bentuk tulisan narasi menjadi manuskrip buku.
NUSA PENIDA
- Hilangnya pengetahuan lokal mengenai budidaya tanaman kapas, pangan lokal (jagung bleleng, umbi-umbian, padi gage) hingga sistem pengolahan dan penyimpanan hasil pertanian (jineng/ lumbung).
- Tergerusnya budidaya rumput laut dan pengetahuan mengenai membaca alam karena pariwisata massif.
- Hilangnya tanaman kapas dan pewarna alami diikuti oleh hilanganya pengetahuan tradisional dalam membuat kain tenun.
- Sistem penampungan air huja (cubang) yang mulai ditinggalkan.
SEMAU
- Hilangnya sistem kepercayaan Hui dan utun bangat yang diikuti oleh hilangnya tradisi agraris lainnya seperti teknik pembenihan, upacara memohon air hujan, persembahan kala panen hingga pengawetan jagung yang dirayakan dengan pesta.
- Hilangnya pengetahuan mengenai tanaman-tanaman herbal berkhasiat untuk penyembuhan karena hilangnya peran dan fungsi imblingin, imtehen (dukun tradisional).
- Hilangnya pengetahuan menenun kain tradiisonal dan menganyam berbagai jenis daun-daunan karena tidak adanya transfer pengetahuan ke generasi muda.
GORONTALO
- Hilangnya pangan lokal (terutama jenis-jenis jagung lokal) karena program massal dari pemerintah.
- Keberadaan Panggoba yang ahli perbintangan, tempat konsultasi bidang pertanian, ritual dayango yang terancam punah karena dianggap praktik sirik-musrik.
WAKATOBI
- Hilangnya pengetahuan lokal tentang membaca tanda alam untuk aktivitas budidaya pertanian.
- Keberragaman pangan lokal relatif aman namun harus mulai dipikirkan antisipasi-antisipasi ketika akan dijadikan 10 Bali baru.
- Dari penelusuran di empat wilayah (Nusa Penida, Semau, Wakatobi, dan Gorontalo), hilangnya pengetahuan lokal terjadi ketika wilayah dibuka untuk kepentingan industri dan perdagangan (pasar), yang diamankan oleh negara (melalui kebijakan dan aparatusnya) dan menggunakan agama sebagai jalan penekannya.
- Orientasi pembangunan pertanian yang berbasis industrial dalam praktiknya justru menjadi ancaman bagi keberadaan sumber-sumber pangan lokal, misal soal revolusi hijau yang mendorong penyeragaman jenis pangan.
- Pengetahuan lokal yang sudah menjadi praktik sehari-hari, menjadi sistem kepercayaan (believing) yang hidup, kenyataannya, berpengaruh kepada sistem yang lainnya. Jika pengetahuan lokal berubah/ hilang, akan mengubah banyak hal (termasuk aktivitas prosumsi).
- Nusa Penida dengan gempuran pariwisata yang massif, ketersediaan pangan lokal mulai ‘rapuh’, tetapi masih cukup aman karena ajaran Hindu yang mengutamakan keselarasan dengan alam dan penggunaan bahal lokal dalam berbagai upacara.
Foto 55: Alat tenun tradisional (Cag cag) yang sudah jarang digunakan. saat ini, alat tenun ini hanya bisa dijumpai di desa Tanglad.
Foto 56: Tanaman kapas khas Nusa Penida yang sudah langka.
Foto 57: salah satu bentuk lesung yang digunakan untuk menumbuk hasil pertanian di Nusa Penida.
Foto 58: Cubang (penampungan air hujan di ladang-ladang warga yang digunakan untuk pengairan ladang dan minum ternak (sapi).
Foto 59, 60, 61, 62, 63: Beberapa jenis pangan lokal di Nusa Penida yang sudah mulai langka.
Foto 64, 65: Olahan ubi kayu di Wakatobi.
Foto 66: Pohon sagu sebagai bahan pangan lokal di Gorontalo.
Foto 67: Seorang mamatua sedang menganyam daun lontar untuk menjadi berbagai produk peralatan rumah tangga.
Foto 68: Jagung lokal yang menjadi sumber makanan pokok masyarakat Semau. Tapi sekarang sudah jarang dibudidayakan.
Foto 69: Model penyimpanan jagung untuk dijadikan benih. Jagung disusun sedemikian rupa dan biasanya disimpan di langit-langit dapur.
DAMPAK KEGIATAN
- Masyarakat menjadi lebih sadar akan pentingnya menjaga dan menggali kembali pengetahuan lokal mereka (hasil dari Paruman Nusa).
- Kesadaran untuk membangun sistem jaringan benih pangan dan keragaman hayati di masing-masing wilayah.
- Kesadaran untuk merevitalisasi hasil temuan di lapangan menjadi lebih kuat. Misalnya kesadaran untuk menjadikan hutan sebagai areal konservasi (Semau), penyusunan kalender musim di Gorontalo dan penguatan peran dan fungsi Panggoba.
- Kesadaran akan pengetahuan lokal mengenai pangan lokal yang kembali muncul serta untuk mempertahankan dan menanam kembali pangan lokal tersebut sebagai sumber kemandirian pangan sekaligus sebagai brand image masyarakat setempat.
PENGALAMAN TERBAIK
- Saat pertama kali masuk ke pura pada saat odalan (upacara besar) dan diterima dengan baik oleh panitia, pemangku, pengempon pura semakin menguatkan diri untuk semakin semangat bekerja untuk keberagaman masyarakat adat dan tidak merasa sebagai orang asing.
- Ketika bersentuhan langsung dengan masyarakat adat. Terlibat dalam kegiatan keluarga Jero Mangku dan tidur di rumah-rumah warga, di pura, di balai-balai adat kemudian terlibat di aktivitas warga baik di rumah maupun bersama masyarakat luas, menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Membuktikan bahwa kemanusiaan, cinta kasih, ketulusan, kebaikan, mampu menembus sekat-sekat.
- Ketika memasak pangan lokal dan mendengarkan cerita dari para tetua, seperti masuk ke masa lalu dan mengalami hal-hal yang sebelumnya tak terpikirkan.
- Menyaksikan kesederhanaan, kegigihan, perjuangan, konsistensi menjadi modal utama masyarakat untuk mempertahankan local indigenous sekaligus mewujudkan kehidupan yang lebih baik.
- Di Semau, di setiap kaki menjejak selalu mendapat sambutan hangat. Makan, minum, tidur bersama di rumah warga itu rasanya seperti pulang ke rumah sendiri.
KEBERLANJUTAN KEGIATAN
- Inventarisir lebih detail pangan lokal, cerita-cerita rakyat/ dongeng, permainan tradisional di masing-masing daerah untuk memperkaya literasi kuliner lokal dan pengkayaan pengetahuan komunal untuk kemandirian di pulau-pulau kecil.
- Rekonstruksi dan duplikasi pengetahuan-pengetahuan lokal yang relevan dalam upaya pelestarian lingkungan/ koservasi.
- Penerbitan buku ajar untuk anak-anak atau penyediaan bacaan-bacaan berbasis pengetahan lokal.
TERIMA KASIH