Gerakan bertani secara organik dikembangkan di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali. Selain untuk memenuhi kebutuhan pangan dan menghasilkan secara ekonomi, bertani juga sebentuk respons atas perubahan iklim.
Oleh COKORDA YUDISTIRA M PUTRA6 April 2022 08:35 WIB
Dari pulau yang berkapur dan cenderung kering, sebuah ikhtiar ditancapkan I Made Suka (42) dengan harapan menghasilkan pangan yang sehat dan bebas bahan kimiawi demi mencukupi kebutuhan keluarga dan mampu berproduksi secara ekonomi. Dengan semangat dan kerja sama, ikhtiar I Made Suka mulai menunjukkan hasil.
Di lahan kira-kira seluas 8 are, atau sekitar 800 meter persegi, yang berada di Desa Klumpu, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali, Suka sudah memanen terong, kangkung, dan pare serta bunga gumitir atau marigold. Selain digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga, hasil dari kebun Sukadanta Organic Farm di Desa Klumpu juga sudah dijual kepada warga di desa sekitar.
”Terakhir, kami panen terong 12 kilogram,” kata Suka ketika menerima kedatangan rombongan tetamu dari Global Environment Facility (GEF), Kamis (24/3/2022).
Di area kebun Sukadanta Organic Farm tersebut, Suka tidak hanya menanam aneka sayur, tetapi juga memelihara lele dan sapi. Dibantu Eko Martono dari Komunitas Rebo Ijo /Yayasan Wisanggeni, Suka dan anggota Sukadanta Organic Farm membuat rumah pembibitan, pupuk organik, dan biopestisida yang mereka gunakan di kebun tersebut. Nusa Penida Bertani Organik, demikian mereka menyebut kegiatan bercocok tanam di Sukadanta Organic Farm.
Suka menuturkan, kegiatan bercocok tanam secara organik tersebut belum lama dijalankannya. Suka mengakui dirinya masih tergolong baru belajar bertani. ”Tetapi saya senang dan menikmati karena hasilnya juga mencukupi,” ujar Suka.
Kepala Lingkungan Banjar Tengaksa, Desa Klumpu, Ketut Komang (43) mengatakan, aktivitas bertani serupa yang dilakukan Made Suka juga diikuti beberapa warga desa setempat. Komang mengaku dirinya juga sudah ikut bertani dengan memanfaatkan lahan kebunnya untuk ditanami sayur dan dibuatkan kolam lele.
Dan juga penting untuk dicatat dan didokumentasikan agar dapat dilihat dampaknya dan perubahannya.
”Hasilnya diutamakan untuk kebutuhan keluarga. Selebihnya dijual ke tetangga atau dititipkan di warung untuk dijual ke pembeli,” kata Komang yang juga beraktivitas di Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Adat Panca Mekar Sari, Nusa Penida.
”Lumayan dari hasil berjualan sayur organik ini. Sebelumnya, kami biasa membeli sayur,” ujar Komang menambahkan.
Sambil berkeliling melihat kebun, kolam lele, dan kandang sapi di Sukadanta Organic Farm, CEO Global Environment Facility (GEF) Carlos Manuel Rodriguez juga bertanya kepada Suka maupun Koordinator Nasional Small Grants Program (SGP) Indonesia-Global Environment Facility (GEF) Indonesia Catharina Dwihastarini yang menerima Carlos dalam kunjungannya di Nusa Penida, Kamis (24/3/2022).
Sukadanta Organic Farm merupakan satu dari 10 kegiatan dalam program ekologis Nusa Penida yang diorganisasi Yayasan Wisnu dengan dukungan GEF-SGP sejak 2018. Program ekologis Nusa Penida dikerjakan bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Bali dan komunitas di Nusa Penida, di antaranya, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, Jaringan Ekowisata Desa, Yayasan Taksu Tridatu, Yayasan IDEP Selaras Alam, Wisanggeni, Yayasan Kalimajari, Lokamuda, Kelompok Tenun Cepuk Alam Mesari, I Ni Timpal Kopi, Kembali Berdaya, Kelompok Sukadanta, dan pemuda Desa Nyuh Kukuh Nusa Penida.
Dalam perbincangannya itu, Carlos juga berharap program pertanian organik yang dikerjakan Kelompok Sukadanta dengan dukungan GEF-SGP dapat bertumbuh dan berkelanjutan. Carlos mengingatkan agar setiap usaha yang dikerjakan itu dinilai dan dihitung secara ekologi dan ekonomi.
”Dan juga penting untuk dicatat dan didokumentasikan agar dapat dilihat dampaknya dan perubahannya,” ujar Carlos yang pernah tiga periode menjabat Menteri Lingkungan Hidup dan Energi Kostarika. ”Setiap usaha besar dimulai dari yang kecil,” kata Carlos memberikan semangat kepada Suka dan anggota Sukadanta Organic Farm di Desa Klumpu, Nusa Penida.
Pemberdayaan masyarakat
Setelah mengunjungi Sukadanta Organic Farm, Carlos dan rombongan kemudian mendatangi Rumah Belajar Bukit Keker di Desa Ped, Nusa Penida. Rumah Belajar Bukit Keker juga menjadi kegiatan program ekologis Nusa Penida yang mendapat dukungan GEF-SGP. Aktivitas di Rumah Belajar Bukit Keker digerakkan sejumlah pemuda dari desa setempat.
Bercocok tanam secara organik untuk memproduksi bahan pangan bagi kebutuhan domestik juga bagian upaya menjaga lingkungan. Begitu pula di Rumah Belajar Bukit Keker, pengelolanya menggunakan sumber energi alternatif, di antaranya, memanfaatkan kotoran ternak menjadi biogas, memasang panel surya sebagai sumber listrik. Di Rumah Belajar Bukit Keker juga dikembangkan pertanian organik meskipun dalam lahan yang belum luas.
Dalam sesi bincang-bincang seusai santap siang di Rumah Belajar Bukit Keker di Desa Ped, Nusa Penida, Carlos mengatakan, pertanian organik dengan memanfaatkan sumber daya lokal, termasuk mengelola limbah dari aktivitas dapur dan kandang ternak, juga sebentuk respons lokal dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang terjadi global.
”Apabila dijaga berkelanjutan, usaha kecil yang dimulai di Sukadanta Organic Farm dengan mengolah 800 meter persegi lahan akan berkembang dan mungkin dalam 10 tahun ke depan, pulau (Nusa Penida) ini dapat memproduksi kebutuhan pangan secara mandiri,” kata Carlos.
Nusa Penida adalah satu dari tiga pulau yang termasuk wilayah Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Ketiga pulau tersebut adalah Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan. Gugusan pulau tersebut tersusun dari karst sehingga banyak lapisan batugamping.
Meskipun wilayah Nusa Penida dikenal kurang subur dan berbatu sehingga sulit mengembangkan pertanian, namun gugusan tiga nusa di seberang Pulau Bali itu menjadi daerah tujuan wisata karena keunikan alam dan keindahan pantainya yang umumnya berpasir putih. Nusa Penida menjadi pilihan bagi wisatawan yang ingin merasakan pengalaman baru selama berlibur di Bali.
Kepala Seksi Ekonomi dan Pembangunan Kecamatan Nusa Penida I Gede Muliasa menyebutkan, wisatawan mengunjungi Nusa Penida untuk mengunjungi dan menikmati suasana di obyek wisata pantai, di antaranya, Kelingking Beach, Broken Beach, dan Diamond Beach. Muliasa mengatakan, wisatawan ke Nusa Penida lebih banyak menyeberang dari Dermaga Sanur di Kota Denpasar.
Pariwisata yang semakin berkembang di Nusa Penida, termasuk Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan, turut terempas dan menyepi kala pandemi Covid-19 menghantam. Sepinya tamu ke Bali sebagai imbas pandemi Covid-19 juga dirasakan Kadek Sukrayata (35), sopir angkutan wisata yang beroperasi di Nusa Penida, maupun I Made Suka, pendiri Sukadanta Organic Farm yang juga bekerja sebagai sopir angkutan wisata.
Pandemi Covid-19 yang mulai dirasakan sejak Maret 2020 berdampak luas terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali yang perputaran ekonominya digerakkan industri pariwisata. Dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19 terhadap kehidupan sehari-hari, berkebun dan bertani kembali menjadi upaya yang digerakkan komunitas, baik di perkotaan maupun di perdesaan di Bali. Bertani secara organik menjadi alternatif yang dipilih karena selain tidak memerlukan lahan yang luas, hasil pertanian organik diyakini lebih sehat dan lebih bernilai secara ekonomi jikalau dijual.
Kegiatan bertani secara organik di Bali juga mendapatkan perhatian dan dukungan dari kalangan internasional, misalnya, Pemerintah Polandia melalui program Polish Aid membantu program budi daya dengan sistem akuaponik di Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S) Sedana Sari, Banjar Mekarsari, Desa Selat, Kecamatan Abiansemal, Badung, dengan memanfaatkan lahan kebun atau pekarangan di rumah.
Ketika menghadiri acara panen raya produk pangan sistem akuaponik di P4S Sedana Sari, Abiansemal, Badung, Sabtu (11/12/2021), Duta Besar Polandia untuk Indonesia Beata Stoczynska menyatakan sistem akuaponik menjadi inovasi dalam pertanian dan perikanan dengan hasil berupa produk sayuran dan ikan yang sehat dan organik.
Dalam kesempatan menghadiri acara panen raya tersebut, Beata mengakui inovasi teknologi pertanian dengan sistem akuaponik memang membutuhkan investasi, namun hal itu menjadikan lebih efisien dan menghemat lahan serta menghemat air. Inovasi dan teknologi yang tepat dinyatakan Beata dapat menjadi jawaban atas kondisi kekeringan yang terjadi akibat perubahan iklim.
Adapun pendapat yang disampaikan Carlos dalam perbincangannya di Rumah Belajar Bukit Keker, Nusa Penida, Kamis (24/3/2022), mengingatkan kami pada pandangan ahli statistik dan ekonom EF Schumacher yang dituangkan dalam buku berjudul Small is Beautiful, atau dalam buku terjemahannya yang berjudul Kecil Itu Indah: Ilmu Ekonomi yang Mementingkan Rakyat Kecil, dengan prinsip menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan keberpihakan pada rakyat kecil.
Dengan kemauan, ikhtiar, dan kerja sama, mengolah lahan dan bercocok tanam meskipun di atas lahan yang tidak luas akan mampu memberikan penghidupan dan menjadi langkah awal menuju kedaulatan pangan.
Editor:NELI TRIANA