Hari beranjak gelap, sebuah perempatan jalan dengan tugu yang berdiri di tengahnya ramai oleh warga, mereka berkumpul. Tua, muda, anak-anak, laki-perempuan, semua menjadi satu.
Sebagian berdiri, sebagian lain duduk atau jongkok, membentuk sebuah lingkaran, perhatian mereka tertuju pada area lapang di tengah lingkaran. Dua sosok penari topeng sedang mementaskan naskahnya, disusul barok lalu dilanjutkan dengan rangda. Pecalang-pemangku siaga, beberapa warga kerauhan.
Warga Banjar Tangglad malam itu sedang menggelar sebuah prosesi upacara yang mereka namakan “nanggluk merana.” Belakangan, serangkaian peristiwa terjadi di tengah-tengah warga. Hujan yang sempat turun tia-tiba hilang tanpa jejak, cuaca kembali panas menyengat. Ulat menyerbu dan dengan rakus menggilas daun-daun jagung yang baru tumbuh dan berusaha bertahan dari cuaca yang kembali panas menyengat. Ulat-ulat yang tak juga pergi walau serangkaian usaha telah dilakukan.
Dan peristiwa-peristiwa lain yang tampaknya tidak wajar yang kemudian menjadi pertanda. Dari peristiwa-peristiwa yang saling kait tak biasa tersebut, warga bersepakat menggelar sebuah prosesi upacara yang digelar tepat saat purnama kaulu.
Ketika semua warga terpusat di perempatan jalan, mengikuti prosesi dengan penuh harap, sekelompok pemuda di sebuah halaman kecil tak jauh dari perempatan, sedang khusuk dengan niat mereka. Alunan gamelan yang masih jelas terdengar seolah tak membuat mereka berpaling dan ikut larut bersama warga.
Mereka larut dengan niat mereka untuk berhasil membuat “bom”. Mereka membuat “bom” berbentuk seperti telur seukuran genggaman tangan. Tepat ketika warga larut dengan doa dan prosesinya, para pemuda tersebut fokus merealisasikan rencana mereka, membuat “bom” yang akan mereka ledakkan ketika hujan tiba.
Tepatnya di balik gerbang terali hitam, di depan bangunan Artshop Bu Luh, segerombolan pemuda yang dikomandani Gede “timbool” Agustinus meracik material. Buliran biji-biji berukuran kecil dicampurkan ke dalam tanah dan humus yang telah basah. Lalu dikepal dibentuk bulat. Ukurannya dibuat sedemukian rupa sehingga cukup pas digenggaman tangan, memudahkan untuk dilempar.
Timbool dan kawan-kawannya berencana mengajak warga sekitar untuk gerilya menggunakan bom benih yang berhasil mereka buat. Melemparkannya ke lokasi-lokasi strategis hingga nanti “bom-bom” tersebut akan meledak dengan sendirinya ketika waktu tiba.
Biji kecil tersebut merupakan benih Orok-Orok, Kaliandra, Turi, dan Tarum, yang kemudian menjadi empat jenis bom. Upaya gerilya pemboman ini dilakukan untuk mendukung upaya perjuangan kelompok Alam Mesari memperoleh kemerdekaannya atas pewarna alam. Pewarna alam merupakan pewarna yang sebelumnya telah digunakan oleh tetua-tetua mereka ketika membuat tenun cepuk. Kain khas nusa penida yang hingga kini masih diproduksi oleh warga Desa Tanglad.
Kondisi geografis Nusa Penida yang didominasi dengan batuan kapur, lapisan tanah yang relative tipis, iklim kering dengan curah hujan yang sedikit tentu membuat penanaman langsung tanaman pewarna alam memiliki resiko kegagalan yang tinggi. Bom benih (seed bom) orok-orok, kaliandara, turi, dan tarum menjadi sebuah usaha untuk mengimbangi situasi lingkungan yang ada. Pemboman ini menjadi penting karena berpotensi besar akan menjadi humus dan menambah lapisan tanah di atas batuan kapur. Sehinga akan menyuburkan tanaman-tanaman lain yang menjadi sumber pewarna alam.
Teknik pembuatan “bom benih” dipelajari Timbool dan rekan-rekannya merupakan hasil dari hasutan Bang Berto (Roberto Hutabarat) seorang gerilyawan “Bertani karena Benar.” Diaplikasikan oleh gerombolan Timbul setelah mendapat informasi beberapa kali hujan mulai turun di Nusa Penida.
Biji benih yang sudah bercampur dalam kombinasi tanah liat dan humus dengan sedikit air yang kemudian dikeringkan dalam kerat-kerat (bekas telor). Setelah siap, “bom-bom benih” akan dilempar warga ke tempat-tempat yang area ladang warga.
Bom benih sangat tergantung pada cuaca, hujan sekali lalu kemudian panas kembali menyengat seperti apa yang terjadi di awal Januari 2020. Ini bukan momentum yang tepat untuk melakukan eksekusi pemboman. Dibutuhkan curah hjan yang lebih rutin untuk memastikan pemboman berhasil. Hal tersebut membuat penting bagi Timbool untuk mencari tahu dan mendapatkan informasi tentang curah hujan di Desa Tanglad dari warga lokal.
Tidak seperti granat yang langsung meledak sesaat setelah dilemparkan, bom benih akan meledak setelah bereaksi dengan air hujan yang mengguyur.
Ketika hujan sudah mulai rutin turun, bom-bom akan dilemparkan dan “bom” berisi benih ini pecah. Ledakan pertama terjadi.
“Seed bomb itu kalau kena air hujan akan pecah tanahnya, dan di dalam tanah tersebut sudah mengandung nutrisi untuk makanan si benih tadi ketika tumbuh,” Timbool menjelaskan bagaimana proses seed bom tersebut ketika bertemu air hujan.
Bongkahan tanah pecah, benih yang terkandung di dalamnya tersebar mengikuti aliran air. Benih yang hanyut mengikuti aliran air akan tertahan oleh semak, pematang atau batuan, lalu perlahan tumbuh menjadi tunas, mencipta akar-batang-daun hingga kemudian kembali meledak menjadi rimbunan semak belukar. Semak belukar yang nantinya akan menghasilkan humus dan nutrisi bagi tanah.
“Itu adalah tanaman perintis,” Timbool menjelaskan tipe tanaman yang dikandung dalam seed bomb yang dibuatnya. “Di sini kan tanahnya berbatu, untuk merintis tanah berbatu, jadi tanahnya tipis sekali. Supaya guguran daunnya itu nanti bisa menjadi tanah yang lebih banyak untuk tegalan di Tanglad ini,” lanjutnya menjelaskan maksud aksi mereka bergerilya melemparkan seed bomb.
Bom Benih telah dilemparkan oleh ibu-ibu dari kelompok Alam Mesari ke ladang-ladang mereka, sebuah usaha kecil ketika hujan mulai rajin turun di Tanglad dan sekitarnya. Sebuah upaya kecil yang nantinya akan menunjang usaha yang lebih besar, menjaga keberlangsungan tradisi kain tenun cepuk. Menjaga agar ladang-ladang mereka cukup subur untuk ditumbuhi tanaman-tanaman yang akan menjadi sumber warna dari tenun-tenun yang mereka buat. Usaha untuk memintal kembali hubungan antara ruang hidup dengan kerajinan dan dampak ekonomi yang ingin dihasilkan.
Usaha pemboman dengan bom benih kaliandra, taru, orok-orok dan turi tentu jauh lebih kecil dan sangat tidak sebanding dibandingkan dengan Bom Pariwisata yang kini melanda Nusa Penida. Limpahan wisatawan yang berlalu lalang, pasir, dan kerikil yang meunggu untuk didistribusikan membangun villa atau akomodasi wisata lainnya yang cenderung seragam. Diikuti bom sampah sesuai jumlah kunjungan dan konsumsi orang-orang ke pulau Nusa Penida.
Sebuah usaha kecil oleh Alam Mesari bekerjasama dengan Timbool dan rekan-rekannya untuk menjaga keberlangsungan ekosistem di tengah iklim yang telah berubah dan semakin sulit diprediksi. Menjaga keberlangsungan tradisi tetua Nusa Penida dalam mencipta kain tenun tradisional. Tak kalah penting, menjaga tradisi kemandirian Nusa Penida. Tradisi kemandirian telah dilakoni para tetua terdahulu, yang telah membuktikan bagaimana cara bertahan hidup di sebuah pulau kecil dengan bentang alam yang keras.