Ada cerita menarik di balik proses pembuatan tenun.
Kain tenun tak sekadar kain untuk masyarakat Tiga Batu Tungku, yaitu suku Molo, Amanatun, dan Amanuban di Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Bagi mereka, kain tenun punya cerita sejarah luar biasa, sekaligus jadi media ekonomi bagi perempuan membantu keluarga, serta menyuarakan kepentingan perempuan.
Aktivis lingkungan dan pelestari tenun dari Timor Tengah Selatan, NTT, Aleta Baun menjelaskan awal mula mama-mama (sapaan untuk para ibu di NTT) menenun karena ingin menjaga lingkungan setempat. Ketika alam rusak, maka alat tenun akan hilang. “Tenun itu adalah bagian kekayaan alam,” kata Aleta dalam acara Sharing Dialog ‘Weaving For Life’ yang bertemakan “Tenun untuk Kehidupan: Sebuah Perjalanan”.
Kegiatan menenun dalam masyarakat Indonesia. – (Dokumentasi Weaving for Life) SHARESaat kekayaan alam dirusak, maka bagian dari aktivitas kaum peremuan itu akan hilang. Kondisi itu tentu berpotensi membuat masyarakat kesulitan mencari nafkah.
Aleta menjelaskan menenun adalah bagian dari kegiatan sehari-hari kaum perempuan di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Mama-mama juga meyakini tenun bukan hanya tentang menjual atau membungkus badan, tetapi tenun bagian dari sejarah kehidupan orang Timor. Kegiatan mempertemukan dan merajut benang itu bagai mempersatukan kesatuan yang harus diperjuangkan bersama.
Sayangnya, nilai jual tenun setempat masih rendah dan mutunya juga masih kurang baik. Lantaran itulah tercetus ide gerakan Weaving for Life yang dimulai dengan menggandeng tiga desainer muda asal Yogyakarta, yakni Lia Popperca, Lulu Lutfi Labibi, dan Dede Bastam.
Mereka secara khusus mendesain karya busana menggunakan bahan dasar kain khas Molo, Amanatun, dan Amanuban. Hasil keuntungan penjualan baju-baju itu digunakan meningkatkan mutu tenun di ketiga wilayah tersebut dengan pembelian benang dan pewarnaan yang tidak luntur, juga pembelian mesin jahit untuk membuat produk turunan tenun.
Salah satu penenun, Nyoman mengatakan masyarakat diajari bagaimana pengembangan pewarna alam, khususnya biru dan merah yang sulit. Penenun menggunakan daun indigofera tinctoria yang banyak ditemui di tepi pantai untuk membuat warna biru. Sementara warna merah didapat dari kulit akar mengkudu yang melalui proses perminyakan selama dua minggu untuk hasil maksimal.
Menenun kain (ilustrasi) (Wihdan Hidayat / Republika) SHARECerita tak kalah menarik datang dari Desa Bayan di Kabupaten Lombok Utara, NTB. Ini adalah desa adat yang erat menjaga budaya, terutama upacara agama, pernikahan, kelahiran, maupun kematian. Di setiap upacara itu, masyarakat Desa Bayan menggunakan kain tenun tradisional setempat untuk pakaian dan penutup kepala.
Dengan motif warna-warni, kain tenun Bayan itu menyimpan potensi dikembangkan lebih jauh menjadi produk turunan. Karena itu, kegiatan di Desa Bayan lebih menitikberatkan pada pengembangan produk turunan.
Penenun asal Desa Bayan, Lombok Utara, Efta Naif mengungkapkan kelompok tenun di daerahnya terbentuk bertujuan pembinaan untuk regenerasi. Di Bayan, Efta mengatakan tenun adalah barang berharga, karena kain itu digunakan penduduk setempat dari lahir sampai meninggal.
Salah satu pendamping, Fitria Werdiningsih mengatakan semangat orang-orang di Desa Bayan melestarikan tenun telah menyebar dengan cepat. Karena itu, proses regenerasi penenunnya juga terjadi cepat.
Kegiatan menenun dalam masyarakat Indonesia. – (Dokumentasi Weaving for Life) SHAREMotif khusus
Tidak hanya di NTT dan NTB, warga Kaledupa, Wakatobi, Sulawesi Tenggara juga memiliki aturan dalam pemakaian tenun. Kain tenun Wakatobi memiliki motif khusus atau aturan pemakaian yang masih dipatuhi sampai sekarang. Motif laki-laki dan perempuan dibedakan mulai dari akses tenunnya. Pun besaran pinggiran kain bisa membedakan strata sosial pemakainya.
Salah satu penenun asal Kaledupa, Wakatobi, Mursiati menjelaskan selama ratusan tahun tenun di Kaledupa bertahan dengan pakem yang diwariskan dari nenek moyang sampai kini. Di Wakatobi sendiri, masyarakat tak pernah berpikir bahwa tenun itu bisa meningkatkan kehidupan perempuan dan ekonominya.
Karena itu, kegiatan Weaving for Life di Kaledupa fokus pada pengembangan motif tenun baru yang nantinya diproduksi menjadi produk turunan agar tidak menyalahi pemakaian tenun motif tradisional.
Ketika penenun memproduksi motif baru yang diperjualbelikan dan diproduksi lagi untuk tas, masyarakat setempat menikmati proses itu. Alasannya, tak ada nilai adat atau motif yang bertentangan untuk dijual dalam bentuk lain. Sebenarnya, Mursiati mengatakan penenun setempat tak pernah mencatat jumlah motif yang dihasilkan.
Tidak hanya itu, “Yang luar biasa itu menggali nilai. Bagi kami yang paling berkesan adalah selama ini kami tak pernah berpikir mendiskusikan ke penenun bagaimana orang tua menamakan motif itu,” ujar Mursiati.
Kemudian, dia menyadari catatan itu penting, salah satunya berhubungan dengan lingkungan, karena ada nama pohon, bunga, dan lain-lain. “Hal menarik yang sebenarnya menggali tenun bukan tentang seutas benang menjadi kain, tapi menggali nilai diri dan Kaledupa itu sendiri,” kata dia.
Hal menarik yang sebenarnya menggali tenun bukan tentang seutas benang menjadi kain, tapi menggali nilai diri dan Kaledupa itu sendiri. Mursiati, penenun asal Kaledupa, Wakatobi.Pandemi Covid 19 saat ini pun membawa hikmah bagi masyarakat setempat. Banyak anak sekolah dan kuliah yang belajar dari rumah malah kemudian tertarik mempelajari cara menenun. Berdasarkan catatan, kini ada 240 penenun di desa itu. Bahkan, saat ini pun anak-anak sudah tahu motif-motif setempat.
Tak pelak butuh dukungan antargenerasi untuk melestarikan warisan budaya tenun. Tanpa regenerasi pelestarinya, tenun dengan segala ceritanya hanya akan berujung pada kisah sejarah.
https://www.republika.id/posts/10692/cerita-kehidupan-dari-selembar-kain-tenun