Oleh Debby H. Mano Sabtu, 15 Agustus 2020 10:33 WIB
Sepuluh tahun terakhir ia menjalani pekerjaannya sebagai penyedia jasa ojek menuju Dusun Tumba di Desa Tamaila Utara Kecamatan Tolangohula, Kabupaten Gorontalo.
Ada sekitar 15 kilometer yang harus dilalui dari pusat desa menuju dusun tersebut. Waktu tempuh sekitar satu hingga dua jam menggunakan ojek sepeda motor, dengan melewati lembah dan sejumlah sungai kecil.
Beberapa hari terakhir adalah waktu yang sibuk bagi para sopir ojek di kawasan itu, karena Dusun Tumba sedang ada hajatan besar.
Hajatan yang dimaksud adalah penetapan Tumba sebagai salah satu Desa Inovasi di Indonesia, yang diluncurkan Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin secara virtual.
Dalam sehari, ia bisa tiga kali bolak-balik ke dusun itu untuk mengantarkan tamu atau barang-barang yang dibutuhkan untuk acara besok.
Deru motor Risman tiba-tiba senyap, ia meminta penumpang turun di sebuah jalan menanjak.
“Di depan ada pekerjaan alat berat, jalannya sedang dibenahi agar tamu-tamu dari Jakarta bisa sampai ke atas,” kata Risman.
Benar saja, ada sekitar 20 meter jalan diratakan oleh alat berat, dengan timbunan tanah di atas jalan terjal itu.
Kendati sedang diperbaiki, namun ia dan teman-temannya justru mengaku tak terbantu dengan perbaikan darurat jalan tersebut.
“Harusnya tidak perlu diperbaiki, karena jika hujan turun malah akan sangat becek,” katanya.
Ucapan Risman terbukti keesokan harinya. Ban sepeda motor yang dikendarainya mudah tergelincir, setelah hujan deras mengguyur semalam penuh di Tamaila Utara.
Desa Inovasi
Pagi itu, 10 Agustus 2020, warga berbondong-bondong menuju sebuah masjid. Pakaian-pakaian terbaik dikenakan. Mereka berkumpul di halaman masjid, yang beratap terpal seadanya dan bangku-bangku buatan warga dari papan dan kayu.
Warga akan menyaksikan peluncuran desa inovasi secara virtual oleh Wapres, dengan bantuan teknologi “Very Small Aperture Terminal” (VSAT).
Teknologi itu merupakan kerjasama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Universitas Negeri Gorontalo (UNG).
Peluncuran tersebut dalam rangka Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Harteknas) 2020, yang diperingati setiap 10 Agustus.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar yang semula berencana ke Tumba membatalkan kunjungannya.
Menteri akan diwakili oleh Dirjen Pembangunan Kawasan Pedesaan (PKP) ,Harlina Sulityorini.
Dirjen belakangan juga tak bisa mencapai Tumba, karena medan yang dirasa cukup berat.
Peluncuran diawali dengan sambutan Menristek Bambang Brodjonegoro, yang dilanjutkan dengan pemutaran video profil Dusun Tumba.
Dalam video berdurasi 3 menit 58 detik itu, disebutkan bahwa Tumba dihuni oleh suku terasing Polahi.
Padahal, tak ada satu pun warga Polahi yang tinggal di dusun tersebut.
Bupati Gorontalo Nelson Pomalingo, Rektor UNG Eduart Wolok, serta tim Kemendes sumringah saat Tumba disebut-sebagai satu dari 100 desa inovasi di Indonesia.
Salah satu alasan Tumba disebut berinovasi, karena berdirinya satu unit Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berskala pikohidro.
Pembangunan pikohidro didanai Program UNDP Global Environment Facility Small Grants Programme (GEF SGP), yang dikucurkan melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) UNG.
Program GEF SGP dimulai sejak tahun 2018 hingga tahun 2020 di Provinsi Gorontalo.
Tujuan utamanya meningkatkan dan mempertahankan ketahanan sosial-ekologis, melalui inisiatif berbasis masyarakat di kawasan penyangga Suaka Margasatwa Nantu.
Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (JAPESDA) dipilih sebagai “host” program tersebut.
Sedangkan lembaga mitranya yakni Bumdes Mitra Usaha, Wire-G, Pusat Kajian Ekologi Pesisir berbasis Kearifan Lokal (PKEPKL) UNG, Marsudi Lestantun, Agraria Institute dan LPPM UNG.
“Kebutuhan di Tumba ini tiga unit pikohidro, yang sudah selesai satu. Dua unit lainnya akan dibangun bekerjasama dengan Kemendes,” kata Rektor UNG Eduart Wolok.
Pembangkit tersebut mengandalkan anak-anak sungai yang berada di kawasan itu. Pikohidro yang dibangun LPPM UNG menghasilkan 1.600 Watt.
Namun setelah terpasang, pembangkit tersebut hanya dapat menyuplai listrik ke satu masjid dan satu rumah, yang lokasinya tak jauh dari kincir air.
Jarak antar rumah warga ratusan hingga ribuan meter, dianggap sebagai kendala dalam mengalirkan listrik ke rumah-rumah lainnya.
Kepala Dusun Tumba Abdul Muthalib Male sudah memprediksi kondisi tersebut sejak awal.
Ia menilai peletakan kincir air di sungai tersebut kurang tepat.
“Tiga tahun lalu kami sudah merintis pembangunan mikrohidro dengan dana swadaya. Lokasinya di sungai yang lebih tinggi, tapi waktu itu terkendala dana sehingga tidak rampung. Kalau dibangun di lokasi lama, saya yakin listriknya bisa dialirkan ke lebih banyak rumah,” ungkap pria yang lebih dikenal dengan nama Danggu Nani itu.
Di hadapan rektor, bupati, dan tim kemendes, Danggu Nani menyatakan tiga unit pikohidro pun tak akan cukup memenuhi kebutuhan listrik seluruh warga Tumba.
“Kami ingin pikohidro ini bisa dinikmati seluruh masyarakat. Seandainya hanya tiga titik, akan terjadi kecemburuan antar warga. Lebih baik bikin satu titik yang besar, tapi bisa memenuhi listrik semua rumah,” tukasnya.
Konsesi HTI
Dibandingkan listrik atau jalan, warga Tumba memiliki impian yang lebih besar yakni memiliki lahannya sendiri.
Sejak tahun 2011, Tumba masih berada dalam bayang-bayang perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dikelola PT. Gorontalo Citra Lestari.
Saat itu warga menolak dan menghadang masuknya perusahaan ke dusun tersebut dengan berbagai cara.
“Kami berhadap-hadapan dengan tentara dan polisi. Jumlahnya sekitar empat puluh orang. Ada yang bawa laras panjang, senjata, dan borgol,” kenang Danggu Nani.
Perjuangan warga membawa hasil, perusahaan tak pernah beroperasi di kawasan itu.
Tapi, para petani itu belum bisa bernafas lega karena sampai saat ini Tumba masih termasuk konsesi HTI.
Direktur Japesda Nurain Lapolo mengatakan, di banyak tempat di Indonesia HTI belum menjadi solusi perbaikan ekonomi, terutama bagi warga lokal.
Sebaliknya, HTI justru menimbulkan dampak ekologis dengan adanya aktivitas skala besar perkebunan kayu monokultur, yang ditanam melebihi batas produktivitas alami.
Eksplorasi dan eksploitasi ini yang bisa menyebabkan degradasi lahan.
Posisi Tumba sebagai kawasan penyangga Suaka Margasatwa (SM) Nantu, adalah benteng terakhir hutan alam tersebut.
Luas wilayah Tumba berdasarkan administrasi sekitar 5.314,07 hektare, dengan jumlah penduduk 512 jiwa atau 128 Kepala Keluarga yang semuanya bertani.
Masyarakat sudah masuk dan seterusnya menetap di kawasan itu sejak tahun 1998-1999, jauh sebelum adanya klaim HTI.
“Wilayah ini juga merupakan hulu dan sumber air bersih yang memasok ke beberapa kecamatan. Karena itu sangat penting untuk menjaga Tumba,” tukasnya.
Selama ini masyarakat Tumba sudah menerapkan sistim agroforestry atau kebun campur, dengan menanam tanaman buah dan hutan seperti kakao, durian, pala, enau kelapa, cengkeh, dan jagung.
Praktik-praktik pertanian berkelanjutan itu yang menunjang ketersediaan air dan penghidupan masyarakat.
“Menjadikan Tumba sebagai desa inovatif tentu akan memberikan dampak positif. Tapi, pencanangan tersebut akan sia-sia jika Tumba masih masuk dalam konsesi HTI. Sewaktu-waktu, bisa saja HTI akan dengan bebas menyingkirkan dan mengambil alih tanah-tanah itu” ujar Nurain.
Japesda meminta Kementerian Desa PDTT mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), untuk mengakui hak penguasaan kawasan Hutan Produksi kepada masyarakat Tumba melalui skema Perhutanan Sosial (PS) maupun Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA).
Bupati Gorontalo sendiri mengaku sudah mengajukan kawasan itu dalam usulan TORA. Bersamaan dengan peringatan Harteknas, bupati juga menyerahkan Surat Keputusan (SK) Tumba sebagai dusun definitif, sekaligus mengangkat kepala dusun.
Tak banyak yang bisa dilakukan warga Tumba untuk biasa berkuasa atas lahannya, selain menagih janji-janji yang telah terucap.
https://www.antaranews.com/berita/1670334/dusun-tumba-dan-mimpi-besar-mereka
Oleh Debby H. Mano
Editor: Arief Mujayatno
COPYRIGHT © ANTARA 2020