Dari kandang, kotoran sapi diubah menjadi energi yang menghidupkan.
Kegiatan dimulai pukul 08.00 WITA dengan persiapan aula rumah belajar sebagai lokasi pelaksanaan kegiatan di Rumah Belajar Bukit Keker. Dua jam kemudian para peserta pun hadir. Ada lima orang calon penerima manfaat dari Banjar Jurang Pahit dan Ponjok Desa Kutampi, satu orang anggota keluarga penerima manfaat, satu orang perwakilan Rumah Berdaya, satu pendamping peternak dari Yayasan Taksu Tridatu, serta perwakilan dari tempat pengolahan sampah sementara (TPST) Bukit Keker.
Setelah semua peseta hadir dan berkumpul di aula, Rai A. membuka acara sosialisasi dengan menjelaskan secara singkat program biogas yang hendak dilaksanakan. Program ini merupakan bagian dari program “Penerapan Energi Bersih dan Meningkatkan Pemahaman Masyarakat tentang Alternatif Energi di Pulau Nusa Penida.
Tujuannya untuk membangun instalasi percontohan pemanfaatan energi bersih di tengah-tengah masyarakat. Harapannya bisa meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai energi bersih sebagai energi alternatif yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
Setelah pembukaan Made Suyasa sebagai pemateri melanjutkan. Dia memulai dengan menceritakan secara singkat bagaimana awalnya program biogas berlaku di masyarakat. Mulai dari sistem subsidi yang sebelumnya pernah berjalan.
“Misalkan untuk membangun biogas 4 meter dibutuhkan anggaran Rp 7 juta, nanti disubsidi Rp 2 juta dari donor. Itu program yang dulu sempat berlangsung,” cerita Made Suyasa.
Selanjutnya Made Suyasa menunjukkan gambar instalasi biogas. Bagian utama sebuah digester terdiri dari inlet (tangki pencampur) sebagai tempat kotoran hewan masuk dan reaktor sebuah ruang tempat berlangsungnya pencernaan anaerob.
Penampung gas merupakan ruang tempat gas yang dihasilkan dari pencernaan anaerob berkumpul. Bagian selanjutnya adalah outlet (ruang pemisah). Lalu ada system pengangkut gas serta lubang kompos kotoran hewan yang telah hilang gasnya (bio-slurry).
Made Suyasa juga menjelaskan proses perjalanan kotoran hingga menjadi gas. Campuran kotoran dan air (dicampur dalam saluran masuk atau ruang pencampur) mengalir melalui saluran pipa menuju digester. Pencampur menghasilkan gas melalui proses pencernaan anaerob di reaktor. Gas yang dihasilkan kemudian disimpan dalam penampung gas (bagian atas kubah).
Slurry lalu mengalir keluar dari digester menuju outlet dan menjadi bio-slurry mengalir ke lubang slurry melalui overflow.
“Kalau dahulu di Simantri menggunakan viber. Apakah itu bagus?” tanya Eka Saputra, salah satu peserta. Dia sempat terlibat di pembangunan biogas beberapa tahun lalu.
Diskusi berlangsung santai dan intim.
Suyasa menjawab pertanyaan Eka. Menurutnya, viber itu biasanya renyah. Ada juga sambungan yang rentan bergeser ketika mendapat tekanan. Hal itu tentu membuat rentan mengalami kebocoran. “Penggunaan viber mungkin kurang tepat karena rentan kebocoran,” kata Suyasa.
Suyasa melanjutkan penjelasannya. Biogas yang dibangun dengan penggunaan beton bisa berumur 20-25 tahun. Setelah 20-25 tahun yang dibutuhkan adalah perawatan dengan merawat lapisan dari digester, memplester ulang.
Untuk kotoran material utama biogas, Suyasa menjelaskan sepengalamannya membangun istalasi biogas, penggunaan kotoran sapi biasanya tidak terlalu menghadirkan banyak masalah. Hal ini karena biasanya kotoran sapi lebih mudah mengambang. Berbeda dengan babi yang biasanya keras dan agak susah pada proses penghancuran. Adapun kotoran ayam lebih cepat padat dan susah mengambang.
Suyasa melanjutkan, secara umum jika menggunakan kotoran basah membutuhkan waktu 21 hari. Biogas bervolume 4 m kubik bisa untuk pengunaan rumah tangga dengan jumlah anggota 5-6 orang. Kebutuhan kotoran ternak cukup dari dua sampai tiga ekor ternak.
Jika volumenya hingga 6 m kubik sebaiknya digunakan untuk usaha. Kebutuhan ternaknya 4-5 ekor. Hal ini karena gas harus digunakan setiap hari sehingga gas yang terproduksi tidak terkumpul dan kemudian meloncat keluar.
Salah satu masalah yang sering kali muncul adalah gas tidak keluar. Hal ini karena ada uap air terkumpul sehingga membuat gas tidak bisa mengalir keluar. Jika menemukan masalah seperti itu cukup cek kotak penguras air. Cukup putar kran kecil di sana, maka air akan keluar dan gas akan mengalir kembali.
Manfaat Lain
Pria asal Bangli ini melanjutkan selain untuk memenuhi gas, biogas juga bisa digunakan untuk memasak, memanaskan air dan bahkan lampu penerangan.
“Bisa untuk lampu, Pak?” salah seorang peserta bertanya.
“Bisa,” tegas Suyasa.
Kalau kompor bisa bertahan 2,5 tahun sementara kalua lampu bisa bertahan 6 bulan. Hal itu karena lampu akan menyala terus-menerus selama 6 bulan sehingga harus diganti.
Made Arta, peternak asal Jurang Pahit, Desa Kutampi menimpali tak apa harus mengganti enam bulan sekali dibandingkan memakai minyak gas sat botol seharga Rp 25.000 yang hanya cukup untuk tiga minggu. Padahal kaos lampu petromaks hanya sekitar Rp 1.000 dan bisa dipakai enam bulan.
Pertanyaan lain muncul perihal jarak terjauh instalasi biogas menuju dapur. Jawabannya, bisa sampai 500 m.
Untuk memasukkan kotoran sapi ke dalam inlet, biarkan kotoran lewat dan masuk ke inlet sampai dalam inlet cukup diaduk. Kecuali jika kotoran tidak bisa lewat, cukup sekop lalu ditambahkan air dan diaduk. “Jika musim susah air, cukup memakai air kencing saja,” lanjut Suyasa.
Made Suyasa menjelakan, posisi instalsi yang lebih rendah dari kandang sapi bertujuan untuk mempermudah penyaluran kotoran ternak menuju inlet. Dengan demikian para peternak tidak lagi harus meluangkan waktu dengan sengaja untuk mengangkut dan memasukkan kotoran ternak ke dalam inlet.
Jika merasa kekurangan gas dan memerlukan produksi gas lebih optimal, tinggal disekop dan ditambahkan ke inlet. “Namun, pastikan kotorannya tidak tercampur dengan ranting-ranting yang akan menghambat kotoran masuk ke dalam reaktor,” Suyasa mengingatkan.
Buatlah biogas sesederhana mungkin dan tidak merepotkan. Hal ini karena peternak di Bali pasti memiliki kesibukan lain termasuk kesibukan sosial keagamaan. Jika biogas membutuhkan proses rumit dan menambah kerja peternak, dia akan mempengaruhi keberlajutan pemanfaatan biogas yang sudah dibangun.
Biogas juga akan menghasilkan pupuk organik padat dan cair. Pupuk ini sangat bagus karena sudah tidak mengandung gas metan. Namun, konsentrasi pupuk yang tinggi ini memerlukan proses pengenceran dengan air. “Jika ada jentik nyamuk, berarti pupuk cair siap dipakai. Karena jika jentik nyamuk sudah bisa hidup maka sudah aman untuk tumbuhan. Jika jentik belum hidup jangan dipakai. Nanti tanamannya bisa mati,” Suyasa menjelaskan.
Dosis pengenceran pupuk cair biogas untuk tanaman sayur sebaiknya menggunakan perbandingan 1:15. Artinya satu centong pupuk cair diencerkan dengan 15 centong air. Sementara untuk tanaman keras bisa 1: 5 dan tanaman berkayu seperti cabai bisa 1:10.
Untuk pengisian pertama tidak perlu kotoran mentah. Bisa menggunakan kotoran yang sudah berumur 1 bulan. Jumlahnya sekitar 20-25 kampil ukuran 50 kg. Jika pakai kotoran mentah harus menunggu sampai lebih dari satu bulan. Jika kotoran kering hanya menunggu tiga hari gas sudah menyala.
Setelah itu tidak perlu mengisi lagi karena kotoran akan langsung mengalir ke inlet.
Potensi Energi
Dampak lain kehadiran biogas adalah kebersihan kandang sapi. Kandang sapi yang bersih tentu akan membuat kesehatan sapi meningkat dan meningkatkan nafsu makan sapi. Hal ini tentunya akan menunjang pertumbuhan dari ternak sapi.
Setelah diskusi intim, peserta melihat lebih dekat biogas yang sudah beroperasi di Rumah Belajar Bukit Keker, Banjar Nyuh, Desa Ped, Nusa Penida. Para peserta diajak ke kandang sapi di belakang Rumah Belajar. Mereka melihat bagaimana kotoran ternak mengalir masuk ke inlet.
Peserta juga sempat mencoba mengaduk kotoran dari dalam inlet, mencoba mengeluarkan air dari penampung, kemudian melihat bagai mana ampas biogas yang keluar dari slurry.
Kemudian setelah dari kandang dan instalasi biogas, para peserta menuju dapur. Melihat gas dialirkan menuju dapur dan pengukur tekanan gas (manometer) menyalakan kompor gas yang energinya bersumber dari biogas.
Kompor gasnya sudah tidak pakai korek. Tinggal tek. Sama seperti kompor gas biasa.
“Gasnya biru, ya..” seru beberapa peserta melihat nyala api kompor.
Tani dan ternak masih menjadi mata pencaharian utama bagai warga Nusa Penida daerah atas yang tidak bersentuhan langsung dengan pariwisata. Ternak yang bisa dipelihara selain sapi adalah ayam dan babi. Sapi merupakan ternak yang masih banyak dipelihara warga. Beternak sapi telah menjadi bagian pekerjaan warga. Satu dua ekor ternak bisa dilihat dengan mudah di ladang milik warga.
Kebiasan memelihara sapi bagi warga Nusa Penida tentu saja menjadi potensi energi bersih, terutama biogas.
Meskipun demikian ada pula tantangan. Lokasi ternak yang biasanya di ladang atau di luar pekarangan rumah membuat biogas tidak bisa dengan mudah diintegrasikan dengan dapur. Padahal, dapurlah tempat memasak yang saat ini bergantung pada penggunaan gas elpiji.
Di Nusa Penida, bahan bakar bagi seorang petani tidak hanya untuk urusan dapur. Peternak di Desa Kutampi juga membutuhkan bahan bakar untuk kebutuhan nagdag, memasak pakan ternak. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan jumlah pakan ternak ketika musim kering tiba.
Pada proses nagdag ini biasanya warga menggunakan kayu bakar. Selain karena ketersediaan ranting kering juga untuk menghemat biaya. Karena itu potensi energi bersih tidak hanya bisa diptimalkan untuk kepentingan memasak, tapi juga membuat pakan untuk ternak.
Kegiatan sosialisasi pada Rabu, 22 Juli 2020 di Rumah Belajar Bukit Keker yang diikuti peternak, pedamping peternak dan penggiat Rumah Belajar merupakan bagian dari program #EcologicNusaPenida yang dilaksanakan I Ni timpal kopi dengan dukungan dari lembaga SGP, GEF dan Yayasan Wisnu.
Kegiatan ini merupakan rangkaian dari usaha membuat percontohan pemanfaatan energi bersih oleh warga. Harapannya masyarakat bisa melihat dari dekat bagaimana energi bersih bisa diproduksi dari apa yang ada di sekitar mereka dan meringankan pekerjaan mereka.
Berbicara tentang biogas di Pulau Nusa Penida tentu bukan hal baru. Beberpa instalasi pernah dibangun di ini. Sebagian besar merupakan program pemerintah dengan menyasar sistem kelompok. Hal tersebut tentu menimbulkan persoalan tersendiri, mengingat bagaimana jarak biogas dengan pemukiman.
Lalu siapa anggota kelompok yang berhak menggunakannya? Apakah semua anggota bisa disuplai pemenuhan energinya atau tidak? Siapa yang bertugas merawatnya? Hingga apakah dalam prosesnya biogas meringankan kerja peternak atau malah menambah pekerjaan peternak karena harus mengangkut dan memasukkan kotoran ke dalam digester biogas?
Beternak sapi di Nusa Penida memiliki tantangan tersendiri. Musim kering yang panjang dan keterbatasan air membuat pemenuhan pakan ternak menjadi kendala tersendiri. Hal tersebut tentunya akan membuat para peternak lebih memilih memetik daun pohon bunut untuk pakan bagi ternak mereka daripada mengangkut kotoran sapi untuk mengubahnya jadi biogas.
Selain itu bagaimana mungkin bisa membuat gas dari biogas, jika sapi tidak mengeluarkan kotoran akibat tidak makan? [b]