Sejak pandemi Covid-19 dimulai, Nusa Lembongan sudah tidak seramai dulu, sama seperti di tempat lain. Namun ada yang berbeda di Nusa Lembongan.
Pada hari-hari biasa, jalan tersebut dipenuhi kendaraan dan orang-orang yang berlarian. Kebanyakan dari mereka adalah wisatawan, orang asing maupun penduduk lokal. Kafe selalu penuh. Sementara itu, satu-satunya bagian pulau yang sepi adalah pantai yang menghadap Nusa Ceningan. Anda mungkin hanya akan melihat beberapa petani rumput laut di sekitar pantai itu. Kini keadaan berbalik 180 derajat. Kafe tutup. Penyewaan sepeda motor kena debu.
Berbeda dengan saat pandemi, pantai menjadi ramai. Kita bisa melihat petak-petak budidaya rumput laut yang terbentang hingga Pulau Nusa Ceningan. Seluruh penduduk pulau kini menjadi petani rumput laut. Masyarakat yang bekerja di usaha laundry, spa, persewaan mobil dan sepeda motor serta hotel saat ini bekerja di budidaya rumput laut. Air pasang sedang naik pagi itu ketika seorang wanita tua berjalan perlahan menuju jalan dari laut. Cucunya menunggunya dengan sepeda motornya, siap melaju. Ni Wayan Uri – sang nenek, duduk di kursi dan pulang bersama cucunya. Ni Wayan Uri – akrab disapa Meme, sudah berusia 70 tahun namun masih dalam kondisi prima. Selama setahun terakhir, Meme bekerja di budidaya rumput laut dan bertanggung jawab menempelkan rumput laut ke tali tali. Dalam sehari, ia dapat menyelesaikan sekitar 20–30 tali dan dibayar Rp1.000 untuk setiap tali dari tetangganya, pemilik peternakan rumput laut. Meme tidak bekerja di peternakan rumput laut setiap hari; dia hanya bekerja berdasarkan pesanan.
Ketika industri pariwisata muncul di Nusa Lembongan pada awal tahun 1990an, masyarakat perlahan-lahan beralih mata pencaharian dari budidaya rumput laut. Banyak warga senior pulau yang merasa sedih karena tidak ada yang mempekerjakan mereka untuk mengikat rumput laut. Lagi. Sementara itu, itulah satu-satunya pekerjaan yang layak dilakukan oleh para manula.
Meme dan suaminya, Wayan Surat, tinggal satu lingkungan dengan putra dan keluarganya. Hal yang lumrah terjadi di Bali dimana orang tua hidup mandiri namun tetap dekat dengan anak-anaknya. Orang tuanya tinggal di rumah yang lebih kecil sedangkan anak laki-lakinya tinggal di rumah yang lebih besar di dekatnya. Wayan Surat kini adalah seorang kakek berusia 81 tahun yang sudah kehilangan penglihatannya.
Meme kehilangan ibunya saat lahir dan diasuh oleh ibu tirinya. Di masa mudanya, Meme pernah bekerja di ladang, menanam jagung, ubi, pisang, dan kacang-kacangan. Kini Meme dan suaminya tidak bisa lagi bekerja di ladang. Selain kehilangan penglihatan, mereka juga sudah menyewakan tanahnya kepada beberapa pengusaha selama 15 tahun. Awalnya pihak penyewa ingin membangun berbagai fasilitas pariwisata. Namun belum terjadi apa-apa, kecuali daratan yang terkikis ombak. Meme juga menjual canang (persembahan sehari-hari umat Hindu Bali) sebagai penghasilan tambahan. Canang adalah persembahan umat Hindu Bali yang paling sederhana, terbuat dari daun pohon kelapa, dan diisi dengan bunga berwarna-warni, dupa, dan bahan-bahan kecil lainnya. Dulu, wanita dewasa harus bisa membuat canang . Namun saat ini, masyarakat lebih memilih untuk membelinya. Harga dasar canang adalah Rp3K, dan ditambah dengan permintaan lebih lanjut, seperti tambahan rokok, tembakau, jeruk nipis, pinang, dan daun sirih; harganya Rp5K. Masyarakat juga bisa memesan sajian persembahan Dewa Bharata dari Meme yang meliputi jeruk, pisang, daun dadap , kenanga, pandan, dan aneka jajanan khas Bali.
Pada tahun 1989, Meme dan suaminya mencoba menjalankan budidaya rumput laut pada tahun 1989 dengan enam petak. Namun usaha tersebut mulai menurun pada tahun 1999 ketika sektor pariwisata berkembang pesat. Budidaya rumput laut mereka terhenti pada tahun 2004. Saat itulah Meme mulai membuat tikar canang dan pandan untuk dijual. Saat ini, sulit mendapatkan daun pandan di Nusa Lembongan.
Pada tahun 2019, budidaya rumput laut perlahan mulai muncul kembali di Nusa Lembongan. Meme kembali bekerja sebagai buruh di peternakan rumput laut. Saat itu, Meme membantu Suarbawa – pionir budidaya rumput laut di pulau tersebut, yang juga menjadi petugas lapangan di sebuah organisasi bernama Kalimanjari. Meme terlibat dalam program pemurnian strain rumput laut yang didanai oleh GEF-SGP Tahap VI.
Kita bisa melihat beberapa orang di cakrawala. Mereka adalah pekerja rumput laut, baik memanen maupun memasang tali rumput laut. Nusa Lembongan mengalami masa keemasan rumput laut pada tahun 80an hingga 90an, ketika banyak penduduk setempat yang membiayai anak-anak mereka hingga lulus universitas, berkat budidaya rumput laut Nusa Lembongan. Berdasarkan sejarah tersebut, masyarakat Nusa Lembongan meyakini bahwa pandemi ini adalah cara Tuhan mengingatkan mereka akan rumput laut. Kembali ke alam. Kini, Meme dan puluhan sesepuh Lembongan lainnya bisa kembali tersenyum. Rumput laut kembali menjadi bagian kehidupan perekonomian masyarakat Nusa Lembongan.
Penulis: Ery Damayanti dan Harijanto Suwarno
Fotografer: Edy Susanto
GEF SGP Indonesia mendukung proyek Rumput Laut Nusa Lembongan
https://www.undp.org/indonesia/blog/seaweed-made-its-way-back-home