Kupang (21/11). Lokakarya pengembangan rencana aksi daerah tentang pencegahan kekerasan berbasis gender (KBG) dan adaptasi dampak perubahan iklim di Nusa Tenggara Timur (NTT) telah dilaksanakan di Aston Kupang Hotel & Convention Center pada Kamis (21/11). Acara ini bertujuan menyusun rencana aksi dengan fokus pada keterkaitan antara perubahan iklim, KBG, dan peran penting perempuan dengan menghadirkan perwakilan dari berbagai unsur pentahelix, yaitu pemerintah, akademisi, media/pers, masyarakat, dan dunia usaha.
Hadir sebagai pemapar, Perwakilan Forum Pengurangan Risiko Bencana NTT dan Koordinator Proyek Komunitas Kupang Batanam untuk Program GEF SGP Indonesia, Lenny M. Mooy menjelaskan bahwa perubahan iklim dipengaruhi oleh aktivitas manusia, emisi gas rumah kaca, dan pemanasan global, yang berdampak pada kenaikan permukaan air laut, kerusakan ekosistem, penurunan kesehatan, dan munculnya konflik, termasuk yang berkaitan dengan gender. Ia menekankan pentingnya optimalisasi pelibatan multistakeholder pentahelix untuk menanggulangi isu tersebut.
Komunitas Kupang Batanam, melalui bantuan GEF SGP, telah melaksanakan berbagai praktik baik adaptasi perubahan iklim berbasis masyarakat di Pulau Sabu Raijua dan Semau. Beberapa contohnya antara lain:
- Perlindungan mata air dan pemanenan air hujan.
- Pemberdayaan pertanian pekarangan ramah lingkungan.
- Filtrasi air limbah rumah tangga.
- Penguatan peran perempuan dalam mempertahankan pangan lokal.
Lenny juga memaparkan transformasi positif yang terjadi di masyarakat berkat program tersebut, di antaranya:
- Pengelolaan Limbah: Dari kebiasaan membuang limbah ternak, sampah, dan rumah tangga sembarangan, kini limbah dikumpulkan dan diolah menjadi pupuk organik.
- Konsumsi Sayuran: Konsumsi sayuran keluarga yang sebelumnya terbatas pada pembelian atau daun kelor, kini lebih bervariasi.
- Pemanfaatan Pekarangan: Pekarangan yang dulunya hanya sebagai halaman rumah, kini dimanfaatkan untuk menghasilkan pangan keluarga.
- Penggunaan Pupuk: Penggunaan pupuk dan pestisida kimia sintetis beralih ke pupuk organik dan pestisida nabati, bahkan digunakan sebagai perbandingan untuk budidaya tanaman lain.
- Berbagi Pangan: Dari kebiasaan membeli sayur sendiri-sendiri, kini keluarga dapat saling berbagi.
- Tanggung Jawab Bersama: Program menumbuhkan tanggung jawab yang dilakukan secara bersama.
- Pengembangan Benih Lokal: Minat pengembangan benih lokal meningkat, bahkan ada yang bersedia menyediakan lahan khusus untuk pengembangan benih lokal.
Lenny juga menyoroti peran penting perempuan dalam program ini, seperti Mama Rossi di Pulau Semau yang menjadi local champion dengan mengelola pertanian dari hulu hingga hilir, serta Mama Lebrina yang di usia 80-an masih membudidayakan dan mengonsumsi padi lokal Semau. Kisah-kisah inspiratif ini diharapkan dapat memotivasi perempuan lainnya.
Diskusi yang berlangsung setelah pemaparan berfokus pada rencana aksi yang dapat ditambahkan, dengan masukan dari peserta, seperti replikasi praktik baik di Pulau Sabu dan penguatan peran perempuan sebagai petani yang mengelola pertanian secara menyeluruh.
Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari studi “Dampak Perubahan Iklim terhadap Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di Indonesia” oleh Kemen PPPA, UN Women, dan UNFPA pada tahun 2023. Hasil lokakarya ini akan berkontribusi pada penyusunan Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Pencegahan KBG sebagai Dampak Perubahan Iklim, serta Rencana Aksi Daerah (RAD) di NTT, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Barat. RAD ini akan menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam merencanakan dan melaksanakan program pencegahan KBG, khususnya dalam konteks perubahan iklim.