“Kompor nike sampun anggen tiang ngukus jaje.”
Sebuah pesan masuk melalui aplikasi pesan online. Pengirimnya Wayan Yuna. Remaja kelas 11 SMA di Nusa Penida, Klungkung itu mengabarkan bahwa kompornya sudah dia pakai untuk mengkukus kue.
“Bagaimana dengan lampunya?” sebuah pesan balasan dikirimkan.
“Lampunya juga sudah menyala,” jawabnya beberapa saat kemudian.
Wayan Yuna merupakan cucu dari Ketut Arta, salah satu penerima biogas di Desa Jurang Pahit, Kecamatan Nusa Penida. Akhir Juli lalu, Yuna mengantar kakeknya mengikuti sosialisasi dan studi banding pemanfaatan biogas ke Rumah Belajar Bukit Keker. Pada pertemuan tersebut Yan Yuna, demikian dia biasa dipanggil, mendapaatkan paparan informasi tentang biogas.
Di sela-sela kesibukannya mengikuti sekolah online, Yan Yuna masih sempat mengikuti proses penggalian lubang dan pembangunan yang berlangsung setelah tahapan sosialisasi dan studi banding. Keterlibatannya semakin aktif setelah bangunan biogas selesai terwujud. Kandang juga telah dihuni sapi dan terhubung dengan inlet di bawahnya.
“Saya yang biasannya mengalirkan kotoran agar masuk ke sini,” katanya sambil menunjuk inlet pada kesempatan lain.
Keterlibatannya yang semakin besar juga disokong oleh situasi ketika kakek dan neneknya yang sudah tidak muda. Selain itu dia sendiri menyadari akan manfaat biogas.
Baginya keberadaan biogas menjadi solusi untuk ketergantungan akan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk kebutuhan penerangan. Gas metana yang dihasilkan dari digester biogas memberikan efektivitas tenaga dan waktu.
Selama ini kakek dan neneknya menggantungkan bahan bakar dapurnya dengan kayu bakar. Walaupun tidak sulit untuk memperolehnya, tetap saja butuh tenaga dan waktu untuk mencari dan mengangkutnya. Meskipun cukup ada waktu, tetapi tenaga di usia senja tentu tidak akan sebanyak ketika masa muda.
Belum lagi jika menghitung asap yang harus kakek dan neneknya hirup selama proses memasak. Apalagi jika yang memasak tidak hanya untuk kebutuhan mereka berdua tetapi juga dua ekor sapi.
Adonan Tahi Sapi
Biogas yang kini mendiami halaman rumah Ketut Arta berkapasitas 4 meter kubik. Artinya untuk produksi gas pertama Ketut Arta harus memenuhi kapasitas digester yang sebesar 4 meter kubik. Hal yang tidak mudah mengingat dia juga harus bekerja sebagai tukang.
Di sinilah peran Yan Yuna dan neneknya kemudian menjadi penting. Setiap hari dia harus menyiram kotoran yang teronggok di lantai kandang lalu menyapunya masuk ke dalam inlet. Menuangkan air agar lebih encer untuk bisa masuk ke dalam digester melalui pipa digester.
Namun, perlu waktu berbulan-bulan untuk memenuhi digester dan menunggu proses terciptanya gas jika hanya mengandalkan kotoran dua ekor sapi. Mereka pun mencari kotoran kering ke tempat lain untuk memenuhi digester.
Memasukkan kotoran kering ke dalam digester bukan perkara mudah. Apalagi jika digester yang sebelumnya sudah terisi seperempat atau sebagian. Kotoran harus dimasukkan dari inlet. Satu persatu kotoran sapi dalam kantung dituang ke dalam inlet, kemudian diencerkan dengai air.
Laksana mencampur tepung dengan air untuk membuat adonan kue. Hanya saja ini terbuat dari tahi sapi kering dan air. Dibuat lebih encer untuk lebih bisa mengalir melewati pipa meju digester.
Namun, ada persoalan lain. Nusa Penida bukanlah pulau dengan air yang melimpah. Tantangan lain untuk memproduksi energi secara mandiri. Mau tidak mau Yan Yuna harus hilir mudik, mengambil berember-ember air dari cubang lalu menungkannya ke dalam inlet. Mengaduknya mejadi sebuah adonen encer baru kemudian membuka pintu inlet sehingga adonan tahi sapi mengalir ke dalam digester.
“Pengisian pertama memang agak berat. Setidaknya dibutuhkan sekitar 200 kg kotoran dan 2.000 liter air untuk bisa memenuhi digester. Perbandingan antara kotoran dan air sebisa mungkin 1:1. Hal ini untuk mengoptimalkan proses pembuatan gas dalam digester,” kata Made Suayasa yang ikut bergotog royong dengan Yan Yuna.
“Untuk pertama jumlah kotoran dan air harus sampai memenuhi manhole. Jika tidak, gas akan bocor keluar melalui manhole dan menguap bebas lewat outlet. Karena itu untuk pertama kalinya butuh banyak kotoran dan air,” lanjutnya menjelaskan.
Made Suyasa yang bertanggung jawab atas pembangunan lima unit biogas di Pulau Nusa juga menjelaskan bahwa setelah gas berhasil menyala untuk pertama kali, maka untuk selanjutnya produksi gas cukup dilakukan dengan mengalirkan kotoran dihasilkan sapi setiap hari. Cukup dengan air yang dipakai untuk memandikan sapi bahkan cukup dengan air kencing sapi.
Usaha yang dilakukan untuk mengalirkan juga tidak begitu berat karena posisi inlet yang berada di bawah kandang sapi. Akibatnya, kotoran di kandang akan mengalir dengan mudah ke inlet. Peternak pun tidak perlu dengan sengaja mengangkut kotoran sapi lalu memasukkannya ke dalam inlet.
Berhasil
Beberapa hari sebelum berita biogas berhasil menyalakan kompor di kediaman Ketut Arta, biogas di kandang sapi Wayan Murta telah berhasil lebih dahulu menyalakan kompor yang digunakannya untuk nagdag, memasak pakan ternak. Hal itu meringankan kerja pasangan suami-istri yang setiap hari harus mencari kayu bakar untuk memenuhi kebutuhan pembuatan pakan ternak untuk sapi dan babi mereka.
Dua dari total lima biogas yang dibangun di dua banjar (Jurang Pahit dua unit dan Ponjok 3 unit) di Desa Kutampi telah berhasil dimanfaatkan. Sisanya menunggu proses fermentasi kotoran dalam degister yang akan menghasilkan gas metana untuk dialirkan ke kompor dan lampu.
Lima biogas yang disebar di ladang dan halaman rumah warga ini merupakan bagian dari usaha pembuatan percontohan penerapan energi bersih di Nusa Penida. Sebuah langkah kecil memanfatkan adonan tahi sapi menjadi energi untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar warga. Kebutuhan yang akan bertambah seiring bertambahnya jumlah kepala dan ternak yang ada.
Pembangunan lima biogas oleh tim I Ni timpal kopi merupakan bagian dari Ecologic Nusa Penida yang digagas Yayasan Wisnu bersama GEF-SGP. Sebuah program untuk memperkuat ketahanan ekologis di Nusa Penida di tengah bayang-bayang perubahan iklim yang terjadi.
“Berbau, Yan?” sebuah pertanyaan saya lempar melalui aplikasi pesan.
“Tidak, Pak. Tidak sama sekali,” jawaban yang diberikan beberapa saat kemudian.
Jawaban yang membawa ingatan akan kekhawatiran warga terhadap aroma kotoran sapi ketika dipakai untuk memasak air untuk kopi atau makanan lain. Jawaban yag kemudian menghadirkan ingatan pada percakapan lain dengan Yan Yunan di bawah pohon bunut di sela-sela membuat adonan tahi sapi. “Nanti ketika bikin ketupat untuk odalan, saya tinggal pakai biogas saja,” celetuk Yan Yuna. Menurutnya jika memasak ketupat menggunakan gas elpiji termasuk boros, mengingat lamanya waktu untuk memasak ketupat.
Harapan kecil yang bisa terwujud di depan mata mengingat kini Yan Yuna dan kakek-neneknya telah berhasil memproduksi energi sendiri. Baik sebagai bahan bakar untuk masak-memasak dan penerangan maupun memenuhi kebutuhan energi untuk mereka dan ternaknya.
Adonan tahi sapi telah berhasil dikonversi menjadi energi. Siap untuk menanak satu panci ketupat. Siap menyala untuk sekitar empat jam nonstop, tanpa perlu memikirkan berapa rupiah yang habis atau berapa potong kayu bakar yang harus disiapkan seperti sebelum-sebelumnya. Bahkan tidak perlu lagi menggedor pengepul minyak tanah hanya untuk menyalakan lampu pijar demi menerangi sebuah kamar. [b]
“Kompor nike sampun anggen tiang ngukus jaje.”
An incoming message via an online messaging application. The sender was Wayan Yuna. The 11th grade high school teenager in Nusa Penida, Klungkung, reported that he had used his stove to steam cakes.
“What about the lights?” a reply message is sent.
“The lights are also on,” he answered a few moments later.
Wayan Yuna is the grandson of Ketut Arta, one of the biogas recipients in Jurang Pahit Village, Nusa Penida District. At the end of last July, Yuna took her grandfather to attend a socialization and comparative study on the use of biogas to the Bukit Keker Learning House. At this meeting, Yan Yuna, as she is usually called, received information about biogas.
In between her busy schedule attending online school, Yan Yuna still had time to take part in the hole digging and construction process which took place after the socialization and comparative study stages. His involvement became more active after the biogas building was completed. The pen has also been occupied by cows and is connected to the inlet below.
“I’m the one who usually drains the sewage to get in here,” he said, pointing to the inlet on another occasion.
His increasing involvement was also supported by the situation when his grandparents were no longer young. Apart from that, he himself is aware of the benefits of biogas.
For him, the existence of biogas is a solution to dependence on kerosene as fuel for lighting needs. Methane gas produced from the biogas digester provides energy and time effectiveness.
Until now, his grandparents had been fueling their kitchen with firewood. Even though it is not difficult to obtain it, it still takes energy and time to find and transport it. Even though there is enough time, the energy in old age will certainly not be as much as when you were young.
Not to mention the smoke that grandparents had to inhale during the cooking process. Especially if the person cooking is not only for the needs of the two of them but also two cows.
Beef Dough
The biogas that now lives in Ketut Arta’s yard has a capacity of 4 cubic meters. This means that for Ketut Arta’s first gas production it must meet the digester capacity of 4 cubic meters. This was not easy considering he also had to work as a handyman.
This is where the role of Yan Yuna and her grandmother becomes important. Every day he has to flush the dirt that is piled up on the cage floor and then sweep it into the inlet. Pouring water to make it more dilute so it can enter the digester through the digester pipe.
However, it would take months to fill the digester and wait for the gas creation process if we only relied on the dung of two cows. They also look for dry waste elsewhere to fill the digester.
Putting dry manure into the digester is not an easy matter. Especially if the digester was previously a quarter or partially full. Dirt should be introduced from the inlet. One by one the cow dung in bags is poured into the inlet, then diluted with water.
Like mixing flour with water to make cake dough. It’s just that it’s made from dried cow dung and water. Made more dilute so it can flow better through the digester pipe.
However, there is another problem. Nusa Penida is not an island with abundant water. Another challenge to produce energy independently. Like it or not, Yan Yuna had to go back and forth, take buckets of water from the inlet and then pour it into the inlet. Stir it into a runny mixture and then open the inlet door so that the cow dung mixture flows into the digester.
“The first filling was a bit heavy. At least around 200 kg of manure and 2,000 liters of water are needed to fill the digester. The ratio between dirt and water should be 1:1 as much as possible. “This is to optimize the process of making gas in the digester,” said Made Suayasa, who worked together with Yan Yuna.
“Firstly, the amount of dirt and water must fill the manhole. Otherwise, the gas will leak out through the manhole and evaporate freely through the outlet. “That’s why for the first time you need a lot of dirt and water,” he continued explaining.
Made Suyasa, who is responsible for the construction of five biogas units on Nusa Island, also explained that after the gas has been successfully ignited for the first time, then gas production will only be done by flowing the dung produced by cows every day. Enough with the water used to bathe cows, even enough with cow urine.
The effort made to drain it is also not that heavy because the position of the inlet is under the cow pen. As a result, the waste in the cage will flow easily into the inlet. Farmers do not need to deliberately transport cow dung and then put it into the inlet.
Stirring cow dung as raw material for making biogas. Lanang Taji’s photo.
Successful
A few days before the news that the biogas had succeeded in lighting the stove at Ketut Arta’s residence, the biogas in Wayan Murta’s cow pen had succeeded in first lighting the stove he used for nagdag, cooking animal feed. This makes it easier for husband and wife couples who have to look for firewood every day to meet their needs for making animal feed for their cows and pigs.
Two of the total five biogas units built in two banjars (two units of Jurang Pahit and 3 units of Ponjok) in Kutampi Village have been successfully utilized. The rest is waiting for the waste fermentation process in the degister which will produce methane gas to be channeled to the stove and lamp.
The five biogas plants distributed in residents’ fields and yards are part of an effort to create a pilot application of clean energy in Nusa Penida. A small step is to use cow dung mixture into energy to meet the fuel needs of residents. The need will increase as the number of heads and existing livestock increases.
The construction of five biogas by the I Ni Timpal Kopi team is part of Ecologic Nusa Penida which was initiated by the Wisnu Foundation together with GEF-SGP. A program to strengthen ecological resilience in Nusa Penida amidst the shadow of climate change that is occurring.
“Smells, Yan?” I asked a question via the messaging application.
“No sir. Not at all,” was the answer given a few moments later.
The answer brought back memories of residents’ concerns about the smell of cow dung when used to cook water for coffee or other food. The answer then brought back memories of another conversation with Yan Yunan under the bunut tree while making cow dung dough. “Later, when I make ketupat for odalan, I’ll just use biogas,” said Yan Yuna. According to him, cooking ketupat using LPG gas is wasteful, considering the length of time it takes to cook ketupat.
A small hope that can come true before our eyes considering that now Yan Yuna and her grandparents have succeeded in producing their own energy. Both as fuel for cooking and lighting as well as meeting the energy needs of them and their livestock.
Cow dung dough has been successfully converted into energy. Ready to cook a pot of ketupat. Ready to burn for around four hours non-stop, without needing to think about how many rupiahs are used up or how many pieces of firewood have to be prepared like before. You no longer even need to bang the kerosene collector just to turn on an incandescent lamp to light up a room. [b]