serat.id- Pelanggaran Hak Asasi Manusia didialektikakan secara luas oleh Jaringan Masyarakat Sipil Peduli HAM Jawa Tengah. Segala bentuk perbuatan yang berdampak merugikan terhadap setiap manusia yang dilakukan oleh manusia lain, pun sekelompok atau pihak tertentu yang menginterprestasikan kekuatan maupun kekuasaan, bisa juga ditafsirkan sebagai pelanggaran HAM. Dari penghilangan nyawa manusia sampai hal umum semacam pelanggaran hak ketenagakerjaanpun, adalah bagian dari hak yang mendasar bagi manusia sebagai makhluk sosial yang hidup dalam sebuah sistem.
Itulah mengapa Jaringan Masyarakat Sipil Peduli HAM berisikan gabungan ormas, LSM, perkumpulan, dan komunitas yang mewakili berbagai kepentingan golongan masyarakat. Dari ormas yang bergerak bidang sosial politik, organisasi mahasiswa, organisasi profesi jurnalis, LSM perempuan dan anak, hingga serikat buruh turut membawakan isunya masing-masing.
Pergerakan modern tak melulu mengandalkan aksi-aksi fisik dalam memberikan kesadaran tentang isu-isu HAM kepada masyarakat luas. Propaganda melalui film adalah salah satu metode efektif untuk menanamkan kesadaran.
Sejalan itu, Dewan Kesenian Semarang (Dekase), Hysteria, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang menyelenggarakan pemutaran film bermuatan isu HAM, di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, 2 Desember 2019. Dengan tajuk sedikit menggelitik, “Mov[i]e On”, tiga organisasi yang juga tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil Peduli HAM Jawa Tengah tersebut menayangkan film-film, baik yang baru dirilis maupun film lawas namun masih relevan isunya.
Film yang dibawakan AJI Kota Semarang menjadi pembukanya. “Kubur Kabar Kabur” (2014) Produksi: Watchdoc Documentary, Sutradara: Helena Souisa, Produser: Dhandy Dwi Laksono, Andhy Panca Kurniawan, R. Kristiawan, dan Ignatius Haryanto dipilih sebagai film yang mengkampanyekan anti kekerasan terhadap jurnalis. Dalam film ini dipaparkan sederetan jurnalis yang mengalami kekerasan saat menjalankan atau berhubungan dengan profesinya sebagai jurnalis. Salah satunya adalah yang menimpa Fuad Muhammad Syafruddin (Udin), wartawan Bernas, Yogyakarta. Ia ditemukan tewas pada 16 Agustus 1996. Diduga ia mengalami kekerasan oleh pihak tertentu berkaitan dengan pemberitaan yang ditulis Udin, tentang korupsi. Namun hingga kini kasusnya tak selesai.
Film ke dua dan ketiga yang dibawakan Dekase tak kalah menarik, “a Doughter’s Memory” (2019). Film animasi pendek berdurasi 9 menit, Produksi: Kotak Hitam Forum, Sutradara dan Produser: Kartika Pratiwi ini, menjuarai Kompetisi Film Australia-Indonesia ReelOzlnd. Film animasi berbasis cerita nyata tersebut menceritakan peristiwa kemanusiaan 1965. Tokoh bernama Svetlana digambarkan menerima kekerasan mental atas hukuman sosial dan diskriminasi oleh kekuasaan, karena ia adalah putri Lukman Njoto, Wakil Ketua CC Partai Komunis Indonesia (PKI). Svetlana menceritakan awal penderitaan batinnya dari kisah penculikan ayahnya oleh tentara, sebelum akhirnya dieksekusi. Kisah-kisah anak-anak dan keturunan anggota PKI tak kalah tragisnya dengan korban-korban pembantaian ’65 yang hingga kini tak jelas proses hukumnya.
Isu Semarangan hadir juga di Mov[i]e On. Film dokumenter Tambakrejo #bergerakbersama (2019), Produksi: TUK Film, Sutradara: Anto Galon, Produser: Sunu Wiwit Pajar, menjadi film renyah yang mengendurkan ketegangan penonton setelah film-film sebelumnya yang sarat isu kekerasan. Meski berawal dari cerita berbasis kemanusiaan dalam proses penggusuran rumah-rumah warga Tambakrejo Semarang, film ini mampu menghadirkan solusi yang dapat dijadikan proyek percontohan bagi pola pemerintahan. Awal tragedipun diakhiri dengan perjanjian antara warga dengan Pemerintah Kota untuk membangun pemukiman baru bagi masyarakat Tambakrejo yang sebagian besar adalah nelayan.
Penutupan, film sajian Hysteria, “Empu” (Sugar On The Weaver’s Chair- 2019), Sutradara: Harvan Agustriansyah, Produser: Catharina Dwihastarini, menyinggung tentang kesetaraan jender. Dalam hal ini, kisah nyata yang mengambil figur perempuan dalam perjuangannya memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Pilihan mengambil peran yang selazimnya dilakukan laki-laki sebagai kepala rumah tangga bukanlah hal mudah dalam pertentangan budaya patriakal. Namun perjuangan perempuan-perempuan perkasa yang difilmkan ini tak melulu mengeksploitasi kekuatan perempuan untuk menandingi laki-laki. Secara santun film ini bukanlah sedang melabrak budaya, namun lebih berbicara tentang kesetaraan hak perempuan tanpa merendahkan laki-laki. (*)