Tiga sosok perempuan desa itu bernama Sutringah (Annisa Hertami), Yati (Tiara Arianggi), dan Maria (Putry Moruk). Ketiganya hidup di tempat berbeda. Berjauhan dan tak saling kenal satu sama lain. Namun, ketiganya terikat dalam satu kesamaan nasib, sama-sama menghadapi problematika hidup berat,
baik dalam posisi mereka sebagai seorang ibu, istri, janda, maupun perempuan penyandang disabilitas.
Kisah-kisah nyata perjuangan hidup para perempuan kuat ini kemudian menginspirasi dan menjadi tema sentral film berdurasi 60 menit, ”Empu: Sugar on The Weaver’s Chair”. Film yang disutradarai sineas muda Harvan Agustriansyah itu merupakan hasil kerja sama tiga lembaga, yakni Global Environmental Facility Small Grant Programme (GEF SGP), Terasmitra, dan Impro Visual Storyteller.
Dalam film ini, sang sutradara mencoba mengisahkan penggalan tiga perjalanan hidup ketiga perempuan secara bergantian, masing-masing diawali dengan gambaran persoalan pelik. Sutringah, ibu seorang anak perempuan sekaligus istri penderas nira, terlilit utang untuk kebutuhan hidup sehari-hari setelah kecelakaan yang menimpa suaminya.
Suryadi (Adi Marsono), suami Sutringah, jatuh dari ketinggian saat menderas nira dan terluka parah hingga menjadi lumpuh. Uang santunan dari sesama penderas nira yang tak seberapa sama sekali tak bisa diandalkan untuk mengganjal kebutuhan hidup, apalagi diikuti kejaran penagih utang.
Persoalan diperumit sikap Suryadi yang masih menganggap seorang istri tak pantas bekerja menggantikan peran suami. Padahal, pada saat yang sama, keluarga mereka dipaksa menghadapi kenyataan pahit kebutuhan hidup yang harus tetap dipenuhi.
Kisah beralih ke Maria, yang bersama beberapa rekannya digambarkan tengah kebingungan. Rumah tenun tradisional Bi- boju di Kafemanu, Nusa Tenggara Timur, tempat mereka berkreasi, menjadi obyek sengketa hukum dan terancam diambil alih. Maria khawatir tradisi menenun akan makin ditinggalkan dan kemudian menghilang.
Sementara di tempat dan waktu lain, Yati, seorang perempuan difabel asal Klaten, mencoba berjuang untuk membuktikan kemampuannya mendesain produk mode. Keyakinannya itu berbenturan dengan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat sekitar, termasuk orangtuanya sendiri.
Terobosan desain yang dia tawarkan tak dianggap serius, bahkan dipandang sebelah mata. Yati, yang juga anak pemilik pabrik tenun kain lurik, tak kunjung mampu meyakinkan sang bapak agar mau memproduksi kain dengan warna-warna cerah. Usulan itu dianggap keluar dari pakem kain tradisional lurik.
”Semua yang dikisahkan di film ini diangkat dan terinspirasi dari cerita dan kisah sebenarnya di tiga daerah itu,” ujar sang sutradara, Harvan, setelah pemutaran film tersebut di CGV Grand Indonesia, Jakarta, Rabu (25/09/2019) malam.
Produser Eksekutif Catharina Dwihastarini menyebutkan, beragam cerita menarik memang kerap ditemukan GEF SGP Indonesia dan Terasmitra, yang bekerja sama mendampingi wirausaha sosial berbasis komunitas. Akan tetapi, selama ini cerita-cerita tersebut kebanyakan dikumpulkan dan dituturkan
kembali lewat media konvensional, buku, dan laporan kegiatan.
Catharina lalu menampilkan dan menceritakannya kembali dalam medium film layar lebar. Lewat film, kegelisahan dan perjuangan sosok ketiga perempuan itu ditampilkan, terutama saat mereka mencoba menghadapi beragam situasi dengan cara mereka yang sederhana.
Catharina menambahkan, kisah Maria terinspirasi pengalaman dan pergulatan Yovita Bastian, pemilik art shop Biboki yang kehilangan tempatnya berkarya dan mencari nafkah. Dalam sengketa lahan itu, Yovita kalah. Namun, dia memilih untuk tidak menyerah.
Jalan perlawanan yang dilakukannya adalah dengan mencoba bekerja sama dengan sekolah dasar di lingkungannya, mengajari para murid sekolah keterampilan menenun. Yovita berpikiran, menghadapi ”para perampok”, seperti yang dialaminya itu, anak-anak harus pintar. Untuk pintar harus bersekolah, sekolah butuh biaya, dan menenun jadi jawabannya.
”Selama ini saya lihat hanya anak putus sekolah saja yang diajari menenun. Satu hari saya lewat sekolah dan melihat hari Sabtu anak-anak tidak melakukan kegiatan selain berolahraga, seperti main sepak bola. Saya usulkan kepada guru mereka bagaimana supaya pada hari pengembangan bakat itu mereka saya ajari menenun,” ujar Yovita, yang juga hadir saat pemutaran.
Saat ini ada sedikitnya 140 anak diajari dan menguasai keterampilan menenun. Setiap tiga bulan, mereka menghasilkan kain tenun untuk dijual.
”Ketiga tokoh dan kisah dalam film itu semua menyampaikan pesan agar jangan pernah menyepelekan kekuatan dan tekad perempuan. Dalam tekanan dan keterdesakan, perempuan mampu melawan dengan cara tak terduga,” ujar Catharina.
Proses pembuatan film itu cukup menantang. Annisa, pemeran Sutringah, misalnya, harus belajar memanjat pohon kelapa setinggi 5 meter untuk pengambilan gambar. Ini berisiko, apalagi alat pengaman yang digunakan sama dengan yang biasa dipakai para penderas nira berpengalaman.