oleh Luh De suriyani [Klungkung] di 29 September 2020
- Ketika usaha pariwisata di Nusa Penida, Bali, redup saat pandemi ini, pertanian jadi tumpuan hidup
- Apakah pertanian bakal mati lagi jika pariwisata hidup kembali?
- Sejumlah warga berkomitmen akan berkelanjutan namun perlu dukungan
- Lahan kering dan ketergantungan pada air hujan jadi tantangan sekaligus adaptasi perubahan iklim di pulau-pulau kecil ini.
- Artikel ini merupakan tulisan kedua dari tiga tulisan tentang dampak pandemi Covid-19 pada warga pulau-pulau di Nusa Penida yang tergantung pada pariwisata. Tulisan pertama bisa dibaca di tautan ini
Janji dan harapan untuk terus bertani rumput laut telah disampaikan sejumlah warga, karena rumput laut lah yang disebut sebagai penyelamat di tengah matinya usaha pariwisata saat pandemi ini.
Namun, keberlanjutan budidaya pertanian mensyaratkan adanya pengolahan, sayangnya unit ini belum digarap serius. Bahkan, sejumlah petani yang ditemui tidak tahu rantai pasok komoditas rumput laut ini. Jawabannya, hasil panen diambil pengepul yang akan membawa ke luar pulau Bali.
Diolah jadi apa apa, dengan harga berapa, atau bagaimana diolah, masih jadi tanda tanya. “Katanya jadi kosmetik,” sebut Wayan Sugarma, petani rumput laut di Desa Suana, Nusa Penida yang baru empat bulan bertani setelah dirumahkan dari sebuah kawasan villa mewah. Demikian juga Made Jaya, petani di Lembongan. Pasca panen rumput laut masih abu-abu karena sentra pengolahan tidak dikembangkan.
Wayan Suwarbawa, salah satu tokoh rumput laut di Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali ini mengatakan setidaknya ada empat nama pengepul di Lembongan yang sebagian membawa ke pulau Nusa Penida, sebelum dikirim lagi ke luar pulau. Sebagian lagi ada yang mendistribusikan ke Klungkung daratan, dan langsung ke Surabaya.
Ia sendiri mencoba memanfaatkan rumput laut menjadi pangan di rumah. Misalnya mengolah jadi lawar, jus, dan campuran nasi. Sejumlah pelatihan atau kelompok pengolah rumput laut jadi camilan pernah ada, namun tak berlanjut. Hanya muncul saat pameran pembangunan.
Pengolahan atau kegiatan pasca panen diyakini memberi nilai tambah bagi petani. Juga menambah lapangan kerja untuk yang tidak mau berendam di laut memasang patok, tali, dan merawat rumput laut setiap hari.
baca : Pariwisata Mati, Rumput Laut Hidup Lagi (bagian 1)
Salah satu pengepul atau pembeli rumput laut dari petani Mokoh Wijaya mengatakan ia memerlukan dukungan untuk mendampingi petani agar kualitas rumput laut lebih baik sehingga meningkatkan nilainya. “Standar kualitasnya belum bagus. Berusaha mengedukasi petani biar bisa menyediakan standar pabrik. Belum bisa memenuhi standar. Perlu biaya lagi untuk penjemuran dan pembersihan,” ujarnya. Pabrik minta kadar airnya 36-37% sementara petani masih 39-40%.
Setelah beli dari petani, ia langsung membawa ke pabrik pengolahan di Surabaya. Diolah jadi tepung karagenan rumput laut. Jumlah yang dikirim sekitar 10-12 ton rata-rata per 3 bulan karena banyak pengepul atau pembeli lainnya. Selain itu, hasil panen belum banyak karena rumput laut baru dibudidayakan lagi di Lembongan. Sebagian digunakan untuk bibit.
Ia fokus jadi pengumpul karena setelah Covid-19 sudah tak bisa aktif bekerja sebagai tim pemasaran online hotel dan villa di Nusa Penida. Wijaya juga menjual sarana budidaya rumput laut seperti tali tampar, rafia, plastik es, terpal untuk penjemuran, jaring, dan lainnya. “Bantu petani biar bisa mendapat harga kompetitif, ambil barang di Surabaya,” imbuhnya. Harganya disebut lebih murah sekitar Rp10 ribu per item/roll dibanding beli di Nusa Penida.
Wijaya menyebut warga Lembongan dan Nusa Penida beruntung karena ada alternatif untuk survive saat pariwisata mati dampak corona. Rumput laut termasuk komoditas ekspor, harganya fluktuatif. Saat ini, per Agustus-September, harga turun, dari Rp15.500 jadi Rp13.000 per kg.
Menurutnya sektor pengolahan perlu dikembangkan. Agar yang dijual dari Nusa Penida bukan rumput laut raw, tapi sudah diproses seperti dicacah dan diputihkan.
Namun untuk mengolah siap ekspor seperti pabrik di Surabaya, menurutnya belum siap karena panen belum memenuhi kapasitas pabrik. Sementara di Surabaya beli dari pulau-pulau lain seperti Indonesia Timur.
Siasat lain adalah home industry seperti mengolah jadi salad, dodol, jus, kue, dan lainnya. “Istri saya coba buat kue rumput laut, sempat jual di pasar dan keperluan upacara. Masyarakat kita belum banyak tahu manfaatnya, bagus sekali untuk kesehatan. Belum jadi budaya untuk konsumsi,” sebut Wijaya.
I Gede Sedana, Rektor Universitas Dwijendra di Denpasar yang juga peneliti pertanian mengatakan salah satu unsur keberlanjutan pertanian adalah pengembangan hulu dan hilir. Di hulu misalnya penyediaan bibit dan sarana pertanian, di hilir adalah pra dan pasca panen. “Jangan sampai produksi saja, tapi pengolahan [tertinggal],” ujarnya.
baca juga : Nasib Petani Rumput Laut di Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida
Budidaya porang
Komitmen untuk bertani walau pariwisata hidup lagi, juga dilontarkan Wayan Sukadana, seorang pengusaha akomodasi di Desa Suana, Nusa Penida, yang kini merintis sejumlah komoditas pertanian. Termasuk porang, sejenis umbi yang belum familiar di pulau ini.
Wayan Sukadana terlihat bersemangat membahas masa depan porang. Ia mengajak ke kebun pembibitan di desa tetangganya, Pejukutan. Ia memanfaatkan lahan di bawah pohon-pohon jati untuk menanam ribuan bibit porang dalam kantung polybag.
Untuk mengantisipasi panas dan air hujan, ia memasang paranet yang menaungi keseluruhan bibit. Kebun jati yang gersang ini terlihat lebih rimbun dan teduh. Sukadana mengajukan tiga alasan kenapa ia bernyali memulai budidaya porang yang tak banyak diketahui orang. “Masalah pertanian di Nusa Penida adalah kera, air, dan alih fungsi lahan jati. Porang bisa jawab masalah itu,” sebutnya antusias.
Porang menurutnya bisa juga jadi pangan alternatif selain ketela pohon, pisang, jagung, dan lainnya yang sudah tumbuh di pulau berkapur dan berkarang ini. Ia sudah membaca dan menonton banyak video soal budidaya porang dan hasil olahannya.
Dikutip dari laman Badan Penyuluh dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian Kementrian Pertanian, Umbi Porang (Amorphophallus mueleri blume) disebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan merupakan komoditas utama tanaman pangan yang berorientasi ekspor. Saat ini, Indonesia mengekspor porang dalam bentuk chips (irisan tipis), kemudian di negara tujuan diolah kembali sebagai bahan pangan dan kosmetik. Permintaan porang banyak berasal dari Jepang, Cina, Vietnam dan Australia dengan total ekspor porang sekitar 11.170 ton.
Setelah dipanen, umbi porang dibersihkan dari kotoran berupa tanah dan akar yang menempel. Setelah itu, dilakukan pengolahan dengan menjadikan umbi porang sebagai chip porang ataupun dapat dijadikan tepung porang. Tepung glukomonan disebut bahan baku mie jepang (shirataki), konyaku, lem, dan lainnya.
perlu dibaca : Melirik Talas Sebagai Potensi Pangan Masyarakat Indonesia
Bahkan, Sukadana sudah membuat website khusus, tanamanporang.com yang berisi rangkuman informasi cara budidaya, perhitungan modal, bibit, dan lainnya. Saking intensnya pada komoditas baru ini, ia berhasil meyakinkan beberapa warga lain untuk ikut membudidayakan.
Salah satunya Wayan Pedoman, seorang guru. Ia juga menunjukkan lahan dan hamparan 14 ribu bibit yang sudah dibelinya. Saking semangatnya, ia membuka jalan menuju kebun dengan ekskavator, menjual sebagian pohon jati yang ditanam, dan beli sebuah pick-up untuk mengangkut sarana. Kini kebun setengah hektar itu ditata dengan sebuah pondokan tempat rehat dan ngobrol.
Sukadana menyebut, pertanian adalah masa depannya. Padahal ia baru tiga tahun ini merintis dan mengelola dua jenis akomodasi ketika pariwisata Nusa Penida berkembang pesat. Jika pariwisata bangkit lagi, ia berjanji akan terus fokus di usaha ini walau memiliki dua unit akomodasi. Menurutnya pariwisata tak bisa ajeg, terlebih dalam kondisi pandemi yang tak jelas.
Setelah mendengar penjelasan dan informasi budidaya porang ini, pilihan komoditas ini bukan hal mudah. Perlu modal besar untuk memperoleh bibit dan ketekunan karena jangka waktu panen bervariasi tergantung jenis bibit, dari 1-4 tahun.
Sukadana menjelaskan, bibit bisa dibeli dari petani yang telah membudidayakan atau hutan asal porang, Jawa atau Flores. Jenis bibitnya ada 3, biji spora (3-4 tahun), katak atau bubil porang (2 tahun), benih dari umbi porang (1 tahun).
Panen berupa umbi dengan ukuran minimal 500 gram. Harga penjualan basah bervariasi tergantung musim, antara Rp5000-14.000 per kg. Jika jual kering setelah diiris harganya berlipat 5-7 kali lebih mahal dibanding harga basah.
baca juga : Warga Sikka Mengkonsumsi Ubi Beracun. Apa Penyebabnya?
Sukadana menyebut panen akan dibeli pengepul, lalu dikirim pabrik ke Jawa atau Bali untuk diiris dan dikeringkan, kemudian diekspor oleh pabrik ke Cina, Jepang, Amerika, dan Eropa. “Di Jawa ada 14 pabrik porang,” urainya.
Produk olahannya seperti tepung, beras, obat, lem, dan lainnya. Salah satu tokoh patronnya di budidaya porang adalah Paidi yang melakukan budidaya, pelatihan, penjualan benih, pembelian porang basah, dan wisata porang di Madiun, Jawa Timur.
Ia sendiri berencana memodali dengan 40-100 ribu bibit yang akan ditanam di lahan sekitar satu hektar. “Penipuan dan pencurian bisa jadi tantangannya,” sebut Sukadana karena nilai ekonomis bibit porang.
Tekadnya untuk terjun ke bisnis pertanian juga dibuktikan dengan membuat Nusa Dua Farm, kebun sekaligus tempat diskusi pertanian. Ia menunjukkan struktur rumah kayu sederhana yang sedang dibangun di kebun.
Ia mengakui tak mudah memulai bisnis pertanian di Nusa Penida. Selain tiga faktor tadi, kera, sulit air, dan lahan, petani juga menggunakan modal sendiri yang besarannya terbatas. Ia menyontohkan warga yang kembali bertani rumput laut kebanyakan memodali sendiri. “Bapak saya beli bibit, patok, jaring, modal sendiri Rp10 juta. Pasar gotong royong pertanian perlu dievaluasi karena pasar lain jadi sepi, yang beli PNS. Harus fokus ke padat karya dan pertanian,” ia mengusulkan strategi pemulihan ekonomi.
Tak sedikit program pemerintah yang gagal atau tak berkelanjutan di pertanian, misalnya ia mengingat Nusa Penida pernah gagal tanam jarak, ginseng, lidah buaya, dan lainya. “Saya belajar dari itu, pertanian tidak bisa instan, pembelajaran penting,” ingatnya.