Koordinator Program Komunitas Kupang Batanam untuk Program GEF SGP Indonesia yang juga merupakan akademisi di Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Lenny Marlina Mooy menjadi narasumber pada program televisi “Dialog Antar Nusa” membahas terkait dengan ‘Pertanian Adaptif sebagai Solusi Berbasis Alam untuk Perubahan Iklim’ secara live di TVRI NTT pada Kamis (14/11).
Program tersebut membahas mengenai perkembangan yang terjadi di Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Acara diawali dengan pemberitaan terkini, dan juga penayangan inovasi pertanian yang dilakukan oleh masyarakat lokal di Kabupaten Buleleng Bali dan Kota Mataram, NTB.
Di sesi awal diskusi, Lenny menjelaskan bahwa pangan lokal sebenarnya bisa menjadi asset bangsa yang harus terus di kelola. Hal tersebut dikarenakan melimpahnya berbagai macam benih lokal dan luasnya tanah di Indonesia menjadi salah satu peluang untuk dikelola melalui pertanian adaptif sehingga dapat menjaga ketahanan pangan nasional.
“Contoh kasus beberapa kegiatan kami di Pulau Semau, Bahkan PBB menjelaskan bahwa tahun 2023 menjadi tahun paling panas dan menyebabkan badai kemarau di seluruh dunia. Benih luar yang diberikan pemerintah dan juga benih yang dibeli dari luar pulau tidak dapat dipanen. Akan tetapi benih pangan lokal dapat adaptif dengan keadaan kondisi cuaca ekstrim sehingga dapat tumbuh dengan sendirinya,” jelasnya.
Selanjutnya, berkaitan dengan diversifikasi pangan, Lenny menjelaskan bahwa melalui banyaknya bibit pangan lokal, diversifikasi adalah metode untuk menanam berbagai macam bibit dalam satu waktu. Hal ini dapat menjadi sebuah solusi apabila terdapat salah satu bibit pangan yang gagal tanam. Pertanian tentu dapat terus berlanjut dikarenakan adanya jenis bibit tanaman lain yang ditanam.
Selain itu, dalam menerapkan pertanian adaptif penggunaan pupuk organik juga menjadi hal penting. Ia menjelaskan bahwa penggunaan pupuk organik adalah salah satu upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan dikarenakan bersumber dari alam sekitar.
“Berbeda dengan pupuk kimia yang melalui proses industrialisasi yang menimbulkan emisi gas rumah kaca dan mengandung senyawa unsur kimia berbahaya yang dapat membunuh mikroorganisme penghambat pembusukan senyawa organis yang dibutuhkan tanaman,” tambahnya.
Mengenai banyaknya lahan tidur di NTT, Lenny menjelaskan bahwa hal itu disebabkan belum maksimalnya penyebaran pengetahuan dan kesadaran kepada masyarakat untuk mengelola lahan-lahan tersebut sebagai lahan pertanian yang bermanfaat bagi ekonomi dan lingkungan.
“Untuk memaksimalkan lahan di NTT, tentu perlu melibatkan kolaborasi pentahelix, utamanya adalah pemerintah dengan mencetus sebuah kebijakan yang mengedepankan pertanian kepada komunitas melalui kolaborasi dengan para akademisi melalui riset dan penelitiannya. Media juga diperlukan untuk memasarkan dan menyampaikan bahwa banyak kelompok yang menghasilkan produk yang baik dan juga banyak. Selain itu, bisnis harus memajukan produk-produk hasil tani lokal dari para petani dan komunitas,” tambah Lenny.
Tantangan Mengedukasi Petani untuk Melakukan Pertanian Adaptif
Menjelaskan mengenai tantangan dalam mengedukasi para petani untuk melakukan pertanian adaptif, Lenny mengatakan bahwa Ia kerap menghadapi para petani yang sulit untuk merubah kebiasaannya. Hal tersebut dikarenakan para petani saat ini sudah terbiasa menggunakan pupuk kimia dan juga bibit yang berada di pasaran karena pasokannya yang banyak dan lebih mudah dicari.
Sebagai contoh, dalam melakukan penyuluhan kepada para petani di pedalaman, Lenny menjelaskan bahwa pendekatannya harus dilakukan secara langsung dan memberikan rasa kekeluargaan hal tersebut dilakukan untuk memberikan kepercayaan kepada para petani. Bahkan saat Ia memberikan penyuluhan di Pulau Semau pada program GEF SGP Indonesia fase ke-6, Lenny ditantang oleh para petani untuk bersaing dalam mengembangkan pertanian yaitu Lenny dan timnya diberikan sebidang lahan untuk melakukan pertanian adaptif sedangkan masyarakat lokal menanam dengan caranya sendiri.
“Di tahun pertama kami tidak menang dikarenakan kami harus merawat terlebih dahulu untuk tanahnya, akan tetapi di tahun ke-2 dan ke-3 kami telah mengungguli soal produksi ketimbang para petani lokal. Sehingga melalui hal tersebut para petani mendapatkan terbuka untuk mendapatkan pendampingan dan lambat laun setelah selesai program para petani dapat melanjutkan konsep ini secara berkelanjutan hingga saat ini,” jelas Lenny.
Di akhir sesi diskusi, Lenny mengharapkan kepada para petani yang akan melakukan pertanian adaptif harus mempunya satu mindset penting yaitu menyerahkan segalanya kepada alam. Hal tersebut dikarenakan segala sesuatu sebenarnya telah tersedia di alam bahkan untuk sumber penghidupan sekalipun.
“Apabila semua sumbernya berdasarkan dari alam, kita tidak perlu mengeluarkan uang untuk benih, pupuk atau segala kebutuhannya pertaniannya. Oleh sebabnya kita perlu untuk menjaga kelestarian alam agar ekosistem alam, ketahanan pangan akan tetap terjaga sekalipun berada di kondisi yang ekstrim,” pungkas Lenny.