Yogyakarta – ‘Empu’ (2019) menjadi salah satu film bagian dalam program Asian Perspectives Features JAFF 14 ‘Revival’ yang digelar belum lama ini di Empire XXI Yogyakarta. Film fiksi berdurasi 60 menit yang terinspirasi dari kisah nyata ini disutradarai oleh Harvan Agustriansyah.
Film ‘Empu’ yang juga disebut ‘Sugar on The Weaver’s Chair’ dalam judul berbahasa Inggris ini bercerita tentang kehidupan tiga orang wanita di tiga daerah berbeda di Indonesia. Mereka bertiga sama-sama berjuang dalam mendefinisikan takdir di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang kerap kali memandang kemampuan wanita dengan sebelah mata.
Film ini dimulai dengan kisah Sutringah (Annisa Hertami) dari daerah Banyumas, Jawa Tengah. Tokoh Sutringah yang akrab dipanggil dengan Tri adalah istri dari seorang petani gula nira. Suatu ketika, suaminya tiba-tiba jadi lumpuh total setelah mengalami kecelakaan fatal, jatuh dari pohon yang sangat tinggi saat sedang menderes nira.
Terdesak oleh kebutuhan ekonomi dan kondisi suaminya yang kini enggak bisa lagi menafkahi keluarga kecilnya, Sutringah mau tak mau dihadapkan pada proses mendefinisikan perannya. Sebagai perempuan, sebagai istri, sekaligus sebagai penopang hidup keluarga agar ia, suami dan anaknya tetap bisa hidup. Walau pekerjaan yang Tri lakukan itu sangat berat dan hampir mustahil untuk dikerjakan oleh seorang perempuan.
Kisah kedua berfokus pada kehidupan Yati (Tiara Arianggi), seorang perempuan difabel yang membantu bisnis keluarga turun temurun berupa usaha tenun lurik di daerah Klaten, Jawa Tengah. Yati menghadapi proses mendefinisikan takdirnya saat idealismenya berbenturan dengan ayahnya, belum lagi dengan kondisi difabelnya yang sering dipandang sebelah mata oleh orang lain.
Kisah ketiga menceritakan kehidupan Maria (Putry Moruk), seorang janda dari desa Kefa, Nusa Tenggara Timur. Maria bersama teman-temannya sesama janda berjuang agar tetap bisa menurunkan tradisi tenun ke anak-anak muda di lingkungan mereka, walau apa yang mereka kerjakan sering berbenturan dengan situasi dan kondisi di masa kini yang kerap tidak memihak mereka.
Harvan Agustriansyah selaku sutradara bersama beberapa kru dan pemain yang terlibat sempat menghadiri pemutaran dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penonton pada saat sesi Q&A saat itu.
“Kita angkat tiga cerita itu dari kisah nyata yang didapatkan teman-teman Teras Mitra. Kita mencoba selokal dan sedekat mungkin dengan lokasi asal cerita tersebut. Sebagian besar pemeran pun kita pakai dari teman-teman lokal,” tutur Harvan.
Ia kemudian menambahkan informasi menarik lain seperti bagaimana reaksi warga Kupang saat film ‘Empu’ diputar di sana belum lama ini. “Saat kita putar film ini di Kupang. Banyak yang menyampaikan komentar. Mereka sering melihat cerita-cerita yang dari Jawa itu di TV-TV. Kemudian saat menonton kisah ibu Maria dari Kefa, mereka merasa lebih dekat. Apalagi mereka tertawa terbahak-bahak ketika mendengar lelucon khas daerah tersebut diselipkan di dalamnya,” sambungnya.
Anissa Hertami selaku pemeran tokoh Sutringah menceritakan salah satu tantangan terberat baginya saat sedang menjalani sebuah adegan. “Adegan memanjat pohon kelapa itu enggak mudah ya. Waktu itu aku merhatiin warga lokal, ngeliat mereka manjat itu kayaknya gampang banget. Pohon kelapa itu kan tinggi banget ya, bisa sampai sekitar 20 meter, terus aku nanya, disuruh naik sampai seberapa tinggi, ya seperempatnya lah, kata sutradaraku gitu. Terus aku coba naik tuh, ternyata enggak ada seperempatnya aja itu udah tinggi banget, 6-7 meter. Eh dia masih suruh aku naik lagi, kan aku ngga berani, dan aku enggak pakai pengaman,” kenangnya sambil tertawa.
Annisa kemudian mengungkapkan nilai moral apa saja yang bisa diambil dari proses produksi film itu. “Di situ, aku akhirnya sadar kadang-kadang apa yang terlihat mudah, ketika kita lakukan kan enggak semudah itu, dan itu juga jadi pengalaman baru buat aku. Apalagi, aku juga membayangkan betul bahwa tokoh yang aku perankan kan emang ada, bagaimana dia bisa berjuang sebagai seorang perempuan yang naik turun pohon kelapa tiap hari seperti itu, itu kan istilahnya kayak berpacu sama maut juga,” ungkapnya.
Lain dengan pengalaman yang dialami oleh Tiara Arianggi selaku pemeran tokoh Yati. Ada fakta unik yang sempat terjadi saat proses syuting, loh. “Yang menantang ya gimana caranya saya bisa menjahit, gimana caranya saya bisa memilih warna, gimana caranya saya bisa include di dalam peristiwa itu. Momen lucu juga ada loh, sebenernya kursi rodanya itu rusak. Saat itu aku langsung syuting dengan kursi roda yang sebenarnya itu udah rusak, ga bisa jalan rodanya karena tiba-tiba stuck gitu. Jadi, aku sempat kesulitan untuk berjalan dan kursi roda yang bisa aku pakai itu baru di hari kesekian. Walau akhirnya teknisnya agak terhambat, tapi dibawa santai aja sih, gitu,” pungkas Tiara.
Kemampuan akting para tokoh perempuan di dalam film ini ibarat sentilan bagi semua orang yang menonton untuk tidak meragukan kemampuan seseorang, sekalipun mereka masih termasuk aktris pendatang baru.
Setiap tahunnya, program Asian Perspectives selalu mengemas dan menampilkan wajah baru film-film Asia. Film-film Asia diharapkan bisa menjadi media pembelajaran dan pengalaman bagi masyarakat Indonesia agar bisa mempelajari sesama warga Asia, sehingga masyarakat Indonesia dan Asia tidak hanya menerima perspektif-perspektif dari barat saja.
Foto: Hanni Prameswari/beritabaik.id