Wonosobo (17/10). Krisis air kini telah menjadi masalah yang kian serius seiring dengan ketidakseimbangannya antara kesediaan air bersih dan permintaan air bersih. Hal ini melatar belakangi terjadinya Kongres Mata Air di Desa Igirmranak, Kabupaten Wonosobo yang telah terlaksana sejak tahun 2019 dan tahun ini menjadi tahun yang ke-9.
Dengan mengangkat tema “Penyelamatan Mata Air untuk Keberlanjutan Lingkungan” kongres tersebut diadakan untuk merekomendasikan aksi penyelamatan krisis mata air, meningkatkan kesadaran masyarakat dan membangun kolaborasi antar multi-stakeholder.
Dihadiri oleh Aktivis, Akademisi, Masyarakat, Pemerintah dan Organisasi Non-Pemerintah (NGO), kongres tersebut diharapkan menjadi media untuk membangun komitmen dengan menggunakan kolaboratif dan partisipatif yang menggabungkan tiga pilar utama yaitu Top-down Approach dari Pemerintah sebagai pemegang regulasi, Scientific Approach yang melibatkan Akademisi dan penelitiannya, serta Bottom-up Approach yang melibatkan masyarakat dan NGO memperkuat aksi dari grassroot.
Kepala Desa Igirmranak: Kongres Mata Air Perlu Majukan Keberlanjutan Air
Membuka kongres, Kepala Desa Igirmranak Joko Tris Sadono dalam sambutannya menyampaikan bahwa terlaksananya ‘Kongres Mata Air’ berangkat dari kecintaan masyarakat Desa Igirmranak terhadap kecintaan lingkungan sekitar yang kian mengalami penurunan terlebih keberlanjutan air.
“Rangkaian yang kami inisiasi ini telah berlangsung selama 9 tahun lamanya. Harapannya melalui kongres ini lahir sebuah rekomendasi dan komitmen bersama dalam mencegah ancaman krisis air dan memajukan keberlanjutan air,’ jelas Joko.
Diaspora Kabupaten Wonosobo: Atasi Krisis Air Perlu ada Gerakan Multi-stakeholder
Mewakili Diaspora Kabupaten Wonosobo sekaligus Manajer Proyek Kongres Mata Air ke-9, Tafrihan menyampaikan bahwa Kongres Mata Air yang melibatkan multi-stakeholder sangatlah penting dalam mendeteksi masalah lingkungan di Indonesia.
“Keberlangsungan air bukanlah sekedar perawatan mata air saja melainkan multi disiplin yang melibatkan pelestarian hutan, lahan dan, juga efisiensi pemanfaatan air. Melalui Kongres Mata Air ini, kita harus membuat sebuah aksi dan gerakan untuk menjaga keberlanjutan air dan jangan hanya menyalah satu sama lain,” ucapnya.
GEF SGP Indonesia: Kongres Mata Air menjadi Upaya Bersama dalam Lestarikan Air
Hadir sebagai program yang bertujuan untuk merevitalisasi beberapa isu lingkungan di sebagian area DAS Bodri, GEF SGP Indonesia bermitra dengan berbagai NGO di DAS Bodri yang turut hadir pada kongres tersebut. GEF SGP Indonesia yang diwakili oleh Program Asisten bidang Finance Hery Budiarto menyampaikan bahwa hingga saat ini, terhitung 15 mitra GEF SGP Indonesia di DAS Bodri yang sedang menjalankan programnya sejak 2022 mulai dari hulu hingga ke hilir.
“Salah satu contoh penerapan program yang tengah berlangsung adalah Rebo Ijo Wisanggeni yang merupakan mitra kami dari Bali yang ikut bekerja sama dan mendampingi teman-teman di Wonosari dalam meningkatkan Kapasitas mereka terlebih di bidang pertanian,” jelas Hery.
Ia juga menyetujui bahwa gerakan perlu melibatkan multi-stakeholder dalam pelaksanaannya, karena GEF SGP Indonesia memerlukan keterlibatan dari akademisi, pemerintah, masyarakat, dan LSM untuk melanjutkan upaya-upaya yang tengah dilakukan untuk pelestarian lingkungan kita.
“Kami berharap adanya ‘Kongres Mata Air ke-9’ ini dapat menjadi salah satu upaya untuk melestarikan salah satu sumber kehidupan kita yaitu air dengan melibatkan multi stakeholder dalam pelaksanaannya,” ucapnya.
Pemerintah Wonosobo Apresiasi Kongres Mata Air Ke-9 di Desa Igirmranak
Foto: Pemerintah Wonosobo Apresiasi Kongres Mata Air Ke-9 di Desa Igirmranak (Dok: GEF SGP Indonesia / Faishal Muhammad Dzulfiqar)
Mewakili Bupati yang berhalangan hadir, Kepala DPUPR Kabupaten Wonosobo Nurudin Ardiyanto juga mengapresiasi dan memberikan selamat kepada Desa Igirmranak yang telah berhasil melaksanakan Kongres Mata Air yang ke-9.
“Ini merupakan transformasi perawatan air melalui gerakan yang dibentuk untuk menjaga lingkungan sekaligus mengentaskan masalah dan krisis air, energi, pangan, dan energi,” tambahnya.
Mantan Bupati Wonosobo Sayangkan Krisis Air yang Kian Merosot Setiap Tahunnya
Foto: Mantan Bupati Wonosobo sekaligus sebagai inisiator Kongres Mata Air (Dok: GEF SGP Indonesia / Faishal Muhammad Dzulfiqar)
Mantan Bupati Wonosobo sekaligus pencetus Kongres Mata Air H. Abdul Kholik Arif menyayangkan terjadinya krisis air yang kian hari memburuk, Ia menyampaikan bahwa pada tahun 2004 tercatat sebanyak 288 mata air yang aktif dan hidup. Sedangkan di masa akhir periode memimpinnya Kholik menyampaikan jumlah mata air yang aktif dan hidup hanya berkisar 183 mata air.
Selanjutnya, Ia memberikan rekomendasi bahwa untuk memberikan pengetahuan pelestarian air dapat diterapkan di sektor pendidikan. Ia memprediksi apabila program pendidikan lingkungan hidup dapat diterapkan di sekolah melalui para guru.
“Bayangkan jika kita melakukan pembudidayaan bibit di setiap sekolah di seluruh Indonesia, kemungkinan kita dapat menghasilkan 15.000.000 bibit selama 15 tahun, bibit ini nantinya akan cikal bakal untuk menguatkan pondasi lahan sehingga dapat menyiapkan sumber resapan yang baik,” jelas Kholik.
Di akhir sambutannya, Kholik mengemukakan percobaannya untuk menyiapkan “Sekolah Pertanian dan Perkebunan”. Sekolah ini berguna untuk memberikan pendidikan kepada generasi muda dalam meningkatkan kesadaran dan kemauan generasi muda untuk bertani dan berkebun.
Selanjutnya kegiatan kongres Mata Air dilanjutkan dengan pemaparan materi untuk memantik diskusi yang disampaikan oleh Sohib Abdillah dari BKSDA Jawa Tengah, Agus Hendratno sebagai Dosen Teknik Geologi UGM, Febri Sastiviani Putri Cantika sebagai Direktur Deputi Latin dan Rosikhul Ilmi sebagai Project Manager Arupa. Acara dilanjutkan Focus Group Discussion (FGD) dan Pembacaan Rekomendasi oleh Kepala DPUPR Kabupaten Wonosobo Nurudin Ardiyanto serta penandatanganan oleh perwakilan NGO.