
(25/7/2025) Panas mentari yang memancar ke Desa Raenyale terasa menyengat kulit. Namun, meski siang itu terik seperti banyak siang lainnya di Pulau Sabu, Julius Terru Kitu tetap teguh memanjat pohon lontar demi menyadap nira.
“Sehari 20 pohon,” ujar Julius. ”Satu pohon lima belas menit,” jawab lelaki paruh baya bertubuh kurus dan berkumis itu saat ditanya lama waktu yang ia butuhkan untuk memanjat dan memasang perkakas penyadapan nira di pohon lalu turun kembali menunggu hasilnya.
Warga Sabu biasa mengolah nira menjadi tuak dan gula Sabu. Gula kental itu biasa diolah menjadi woperegu—penganan khas Sabu yang terbuat dari campuran tumbukan jagung, kacang, dan gula. Banyak petani setempat biasa hanya memakan tiga sendok gula Sabu setiap pagi sebelum pergi berladang. Sementara para pelautnya biasa membawa bekal woperegu sebelum meninggalkan daratan.
“Bagi orang Sabu, lontar adalah pohon kehidupan,” kata Elo Lado, seorang tokoh adat sekaligus budayawan Sabu. “Daunnya untuk atap rumah, batangnya untuk tiang bangunan, buahnya yang sudah tua dipakai untuk pakan babi ternak.”
Di Sabu, musim kemarau lebih berlangsung lebih lama daripada musim hujan. Curah hujan pun amat sedikit. Untungnya bagi warga Sabu, pohon lontar bisa tumbuh dan berbuah sepanjang tahun. “Sejak dahulu pohon lontar merupakan penyelamat orang Sabu dari kelangkaan pangan,” tulis Roland A.N. dan dua rekannya dalam buku Daun Ro’Hili & Air Gula Sabu: Penyambut Bayi Baru Lahir.
Pohon lontar sejatinya umum dijumpai di banyak pulau selain Sabu. Namun, uniknya, menurut Elo, lontar telah menjadi bagian dari ritual adat di Sabu. Daun lontar dipakai untuk ritus Hole. Gula Sabu juga menjadi suguhan wajib dalam acara-acara adat seperti pernikahan dan kedukaan.
Daniel Hariman Jacob, dosen di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, menulis di makalah studi yang terbit di jurnal International Review of Humanities Studies bahwa pohon lontar dipandang sebagai dunia bagi orang Sabu. Artinya, tulisnya, “seluruh aspek kehidupan orang Sabu tidak terlepas dari lontar.”
Lebih lanjut Daniel menulis, “Keterkaitan, keterhubungan, dan ketergantungan kehidupan orang Sabu pada lontar merupakan suatu bentuk harmoni kehidupan antara masyarakat Sabu dan lingkungan alam Sabu Raijua. Selain itu, lontar juga menjadi jembatan penghubung komunikasi yang harmonis dengan sang Ilahi, atau yang disebut Deo Ama.”
Sayangnya, jumlah lontar di Sabu cenderung berkurang dari tahun ke tahun. Lenny Mooy, dosen sekaligus peneliti di Politeknik Pertanian Negeri Kupang, pernah menganalisis neraca air di Sabu berdasarkan data iklim sepanjang 30 tahun.
“Nah menariknya bahwa Sabu ini ternyata di 20 tahun yang lalu itu dia curah hujannya lebih bagus. Kenapa? Karena lontar lebih banyak,” tegas Lenny. Jadi kalau orang Sabu bilang itu pohon kehidupan, saya mengaminkan itu.” Sebab, siklus udara dan air di Sabu tampaknya juga dipengaruhi oleh vegetasi lontar.
Sejak April 2024 hingga tahun ini, berbekal pendanaan dari Global Environmental Facility-Small Grants Programme (GEF-SGP) Indonesia, Kelompok Studi BeLaTera berupaya membangun siklus ekonomi sirkular dari hasil olahan lontar. Mereka melatih 60 warga dari Desa Raenyale dan Raemude membuat pupuk organik cair dari nira, sabut lontar, dan limbah organik rumah tangga lainnya.
Impaknya, warga tak perlu lagi mengeluarkan uang untuk membeli pupuk kimia guna lahan pertanian mereka. Dampak pupuk organik cair pun ternyata lebih baik bagi kesehatan tanah dan pertumbuhan tanaman.
Selain membuat pupuk organik, warga juga dilatih membuat filter air dari sabut lontar. Dengan filter tersebut, limbah cair rumah tangga bisa diolah dan dimanfaatkan ulang. Manfaatnya, warga bisa menghemat pengeluaran untuk membeli air.
Dalam upaya membangun ekonomi sirkular, BeLaTera melatih warga mengembangkan produk-produk baru berupa tas, sarung botol, wadah, dan map yang terbuat dari anyaman daun lontar. Mereka juga membantu membuat kemasan dan desain menarik untuk gula, kecap, dan cuka yang biasa warga produksi dari air lontar. Warga yang biasanya membuat hanya untuk kebutuhan pribadi, kini sudah mulai berhasil menjual ke para pembeli di sekitar Sabu.
“Ke depan kami ada niat membantu memasarkannya ke daerah Kupang,” ujar Alexandria G. J. Putri Asa Tiluk, koordinator program BeLaTera, pada akhir Mei lalu.
Orang Dowahu meyakini banyak orang di luar Sabu juga bakal menyukai gula Sabu dan produk-produk lain hasil olahan dari air lontar. Petikan syair salah satu nyayian rakyat di sana berbunyi: Na du we ne dau, ‘dhei nga dehanu awu. Ma’dji lema ro ta do wala rai. Artinya: Siapa pun dia, senang dengan gula Sabu. Sekalipun mereka orang dari luar pulau.
Sumber: https://nationalgeographic.grid.id/read/134277291/kisah-pohon-lontar-penyelamat-kehidupan-warga-pulau-sabu?page=all

