media wartanusantara–Terasmitra menyelenggarakan diskusi dengan mengangkat tema “Wajah Gender Dalam Dunia Seni”. Diskusi ini menghadirkan Kartika Jahja (Seniman dan Pendiri Yayasan Bersama Project), Tamarra (Mahasiswa), Citra Sasmita (Perupa), dan Gunawan Maryanto (Aktor, Penulis, dan Direktur Artistik Teater Garasi/Garasi Performance Institute) sebagai narasumber.
Sedangkan yang menjadi moderator diskusi adalah Titi Permata (Co Founder Komunitas TUK & Project Manager Arka Kinari). Diskusi berlangsung dari pukul 10.00-12.00 WIB, via zoom meeting Sabtu, 27 Februari 2021.
Kartika Jahja menyampaikan bahwa kita tidak bisa menciptakan kesetaraan kalau kita tidak mengakui bahwa ada ketidaksetaraan. Ada banyak kasus yang menimpa perempuan pelaku seni diantaranya kasus Mian Tiara, Hanah Al Rashid, kasus Jeannette, Yacko, Kartika Jahja, Kasus RW, dan ada kasus lainnya yang tidak dilaporkan.
Ketika perempuan atau non-biner berbicara di hadapan publik, kerap kali mereka yang pada akhirnya kembali menjadi korban dari sistem atau di mata publik.
“Data yang dikumpulkan oleh koalisi seni memperlihatkan bahwa dari 59 Dewan Kesenian yang terdeteksi, hanya 3 yang dipimpin oleh perempuan, yaitu di Prov. Sulawesi Utara, Kab. Jayapura, dan Kab. Pesisir Barat. Faktanya, ketiga ketua dewan kesenian perempuan tersebut tidak berprofesi sebagai seniman, melainkan istri kepala daerah atau pejabat pemerintahan. Selain hal ini adalah sebuah diskriminasi gender, betapa tidak dianggap pentingnya profesi kita sehingga dipimpin oleh orang yang mungkin tidak bergerak di bidang itu.”, tutur Kartika Jahja
Sedangkan Tamarra menceritakan pengalaman hidup yang dilaluinya. Sejak lulus SMA, Tamarra memutuskan untuk menentukan ruang hidup sendiri.
Tamarra kemudian memilih Jogja, yang pada saat itu ia ketahui sebagai kota pelajar. Di Jogja pula ia mulai belajar untuk memahami dirinya sendiri. Pada tahun 2012, ia memberanikan diri untuk mempersentasikan pemahaman atas dirinya secara utuh kepada keluarga. Sontak keluarganya kaget dan tidak dapat menerima.
Sedangkan yang menjadi moderator diskusi adalah Titi Permata (Co Founder Komunitas TUK & Project Manager Arka Kinari). Diskusi berlangsung dari pukul 10.00-12.00 WIB, via zoom meeting Sabtu, 27 Februari 2021.
Kartika Jahja menyampaikan bahwa kita tidak bisa menciptakan kesetaraan kalau kita tidak mengakui bahwa ada ketidaksetaraan. Ada banyak kasus yang menimpa perempuan pelaku seni diantaranya kasus Mian Tiara, Hanah Al Rashid, kasus Jeannette, Yacko, Kartika Jahja, Kasus RW, dan ada kasus lainnya yang tidak dilaporkan.
Ketika perempuan atau non-biner berbicara di hadapan publik, kerap kali mereka yang pada akhirnya kembali menjadi korban dari sistem atau di mata publik.
“Data yang dikumpulkan oleh koalisi seni memperlihatkan bahwa dari 59 Dewan Kesenian yang terdeteksi, hanya 3 yang dipimpin oleh perempuan, yaitu di Prov. Sulawesi Utara, Kab. Jayapura, dan Kab. Pesisir Barat. Faktanya, ketiga ketua dewan kesenian perempuan tersebut tidak berprofesi sebagai seniman, melainkan istri kepala daerah atau pejabat pemerintahan. Selain hal ini adalah sebuah diskriminasi gender, betapa tidak dianggap pentingnya profesi kita sehingga dipimpin oleh orang yang mungkin tidak bergerak di bidang itu.”, tutur Kartika Jahja
Sedangkan Tamarra menceritakan pengalaman hidup yang dilaluinya. Sejak lulus SMA, Tamarra memutuskan untuk menentukan ruang hidup sendiri.
Tamarra kemudian memilih Jogja, yang pada saat itu ia ketahui sebagai kota pelajar. Di Jogja pula ia mulai belajar untuk memahami dirinya sendiri. Pada tahun 2012, ia memberanikan diri untuk mempersentasikan pemahaman atas dirinya secara utuh kepada keluarga. Sontak keluarganya kaget dan tidak dapat menerima.
Butuh waktu baginya sekitar lima tahun untuk memahami feminitas dan maskulinitas yang ada pada dirinya sendiri.
“Seringkali saya membayangkan alangkah menyenangkan hidup jika pendidikan atas keberagaman gender, ekspresi gender, dan seksualitas ataupun pengetahuan atas tubuh yang utuh sudah diberikan oleh lingkungan paling dekat yakni keluarga sejak dini.”, tutur mahasiswa Universitas Sanata Dharma tersebut.
Selain itu, Citra Sasmita menjelaskan ada seorang pelukis perempuan pertama di Indonesia bernama Emiria Soenassa yang melukiskan keanekaragaman kecantikan perempuan yang ada di nusantara. Beliau melakukan ekspedisi ke daerah-daerah, kemudian ke suku-suku dan melukiskan bagaimana kehidupan perempuan di sana dengan realistis. Sayangnya tulisan-tulisan mengenai Emiria Soenassa,dokumentasi, bahkan lukisan-lukisannya sendiri tidak kita bisa jumpai di Indonesia.
“Di Bali kami mengadakan workshop untuk menuliskan seniman perempuan di Bali. Kami menemukan ada 21 perempuan seniman yang layak tulis. Yang dimaksudkan layak tulis adalah memiliki dokumentasi valid, sisanya sulit sekali untuk didapatkan.’’, terang Citra Sasmita.
Perupa asal Bali tersebut merisaukan lukisan kamasan di Bali yang dibuat secara kolektif namun perempuan hanya ditempatkan sebagai ahli warna dan mendapatkan ruang untuk mewarisi narasi dan ahli sketsa adalah laki-laki.
Citra pun menambahkan bahwa dalam karyanya ia mengganti semua tokoh laki-laki menjadi tokoh perempuan. Misalnya Tuhan dalam bentuk perempuan, nabi dalam bentuk perempuan, manusia pertama dalam bentuk perempuan, sebagai upaya untuk menyeimbangkan ketiadaan sejarah yang menuliskan dengan seksama mengenai peran penting perempuan.
Adapun Gunawan Maryanto sendiri mengakui bahwa di dalam kelompok teater, biasanya yang tercatat sebagai sutradara atau pemimpin kelompok adalah laki-laki karena sebagai motor penggerak. Sementara sebenarnya ada banyak peran dari pelaku-pelaku perempuan yang mewarnai serta memiliki peran yang cukup penting.
Namun, karena mereka bukan sebagai pemimpin kelompok atau sutradara itu kemudian tidak tercatat. Ada juga stigma bahwa teater tidak menjanjikan dan bukan ruang yang aman untuk perempuan.
“Saat ini sutradara-sutradara perempuan mulai bermunculan tapi tetap saja ketika dibandingkan dengan sutradara laki-laki itu masih sangat timpang. Wajah gender dalam seni Indonesia tidak baik-baik saja. Artinya ini memang jadi satu soal bersama, bagaimana kemudian ruang-ruang bagi perempuan harus dibuka dan diupayakan.”, Ungkap aktor Film Wiji Thukul tersebut.
Sebelumnya pada TM Share Volume ke-89 yang berlangsung pada Kamis, 25 Februari 2021, Terasmitra mengadakan obrolan melalui IG Live Terasmitra dengan tema “Budidaya Benih Lokal”. Obrolan singkat yang berlangsung selama sejam ini, dari pukul 16.00-17.00 WIB menghadirkan Titik Eka Sasanti (Founder Gita Pertiwi). Obrolan inspiratif ini dipandu oleh M. Rifqi Afdillah (Terasmitra).
Disampaikan oleh Titik Eka Sasanti bahwa masalah utama mengapa para petani tidak membudidayakan benih lokal adalah karena tujuan bertanam untuk menghasilkan produktifitas, bukan menjaga kedaulatan pangan. Padahal begitu ada serangan hama, perubahan iklim, benih-benih hasil pabrikan tidak bertahan. Yang bertahan adalah benih-benih lokal. Atas kesadaran itu, Gita Pertiwi mulai menginisiasi budidaya benih lokal bersama para petani.
“Kita membutuhkan petani yang militan untuk melakukan proses budidaya benih lokal. Budidaya benih lokal membutuhkan kesabaran. Saat ini, ada anak-anak muda yang mau bergerak untuk melakukan budidaya benih tersebut.”, kata Titik Eka
TM Share adalah program yang dibuat Terasmitra atas dukungan GEF SGP (Global Environment Facility-Small Grant Programme) Indonesia sebagai ruang berbagi pengetahuan dan pengalaman mitra dan publik untuk melahirkan inspirasi dan mendorong inovasi pengelolaan kekayaan alam dan kewirausahaan sosial di Indonesia.
TM Share diselenggarakan secara reguler dua kali seminggu melalui platform instagram live dan zoom meeting. Program ini dimulai sejak April 2020, sesaat setelah Covid-19 mewabah di Indonesia.
Sedangkan, Terasmitra adalah perkumpulan lembaga dan komunitas wirausaha mandiri pasca program hibah Global Environmental Facilities Small Grant Programme (GEF SGP). Terasmitra berdiri pada 11 Januari 2011.
Anggota Terasmitra tersebar di 12 provinsi, terdiri dari 66 mitra dan 73 komunitas dampingan. Visi Terasmitra yakni menjadi platform layanan yang memberikan dukungan efektif untuk menumbuhkan dan mengembangkan kewirausahaan sosial komunitas demi kesejahteraan warga dan keselamatan lingkungan yang berkelanjutan.
(Rls\Wan)