Menikmati Karya Sinematografi di penghujung tahun, Harvan Agustriansyah.
Berjudul Empu Ditonton Puluhan Tuna Netra berkonsep Bioskop Berbisik.
Kinosaurus Kemang, Jakarta, Kabarindo- Berjudul Empu sudah pasti sudah eyecatchy apalagi saat scene awal omnibus karya anyar Harvan alumnus IKJ langsung menyorot peliknya lara dari 3 Perempuan mulai dari penderes gula aren asal Banyumas Sutringah (Annisa Hertami) lalu Empu berikutnya adalah Yati sang DifabeL yang ngotot terhadap masa depannya untuk menyakinkan sang ayah atas kemampuannya dan Empu Penenun bernama Maria dari Kefa NTT yang rata2 usianya 30-40thn.
3Empu 3Juang 3Asa yakni Sutria, Yati dan Maria.
Walau belum bertemu dengan Catharina Dwihastarini (Executive Producer) tapi tergurat lebar sisi humanis mimpinya menjelaskan lembar proposal atas kinerja LSMnya atau project atas sebuah pemberdayaan dalam format film.
Hal ini diaminkan Rendra Almatsier (Co Executive Producer) yang menemani media dan aksi Bioskop Bisik dimana sahabat Tuna Netra ditemani para pembisik bisa menikmati senyum Yati, Maria dan Sutria walau mereka buta.
Para volounteer ada yang tersedak, redaksipun merasakan hal yang sama. Keharuan dan kebanggaan membuat semua penonton langsung mengomentarin film Empu yang pastinya dibuat dengan hati ini.
Empu adalah Omnibus dari kisah tiga Perempuan Melawan Kuasa Patriarki dengan Senyum.
“Saya merasakan semua itu mas, film ini punya 3 adegan dengan backsound berbeda karena bunyi penghuni hutan sampai dapur dengan adonan air nila menjadi gula merah sampai bunyi benang dan mesin tenun dari para komunitas janda bersuara khas. Saya jadi tahu pasti ini adegan sudah berganti sehingga saya suka dengan bayangan subjektif yang saya punya menerjemahkan sosok Maria yang pasti tersenyum dengan kehadiran anak-anak sekolah yang mau belajar menenun apalagi idola baru saya Yati walau difabel tapi tak mudah menyerah wujudkan mimpi, ” jelas Angga yang sudah dua tahun belakangan terima kasih diijinkan bisa menonton film-film nasional yang inspiratif.
Film Empu telah selesai diproduksi ketika peristiwa perobohan Biboki Art Shop terjadi. Dan, beruntung, Empu telah terlebih dulu merekonstruksi latar perobohan dan pergulatan Yovita Bastian, sang pemilik art shop, dalam sosok tokoh fiktif bernama Maria. Sosok perempuan, dalam kumpulan janda, berhadapan dengan para perampok tanah yang berkedok sebagai aparatur penegak hukum dan bersembunyi dalam kerumitan sistem hukum dan administrasi negara.
Kisah Yovita, menginspirasi lahirnya sosok Maria, kalah tapi tidak menyerah. la menebar benih perlawanan pada anak-anak SD dengan mengajari mereka cara untuk menenun kain. Menghadapi “para perampok’ itu harus pintar, untuk pintar harus sekolah, sekolah butuh biaya, tenun jadi jawabannya.
Cerita Maria tidak berdiri sendiri. Ada dua cerita lain, Yati di Klaten dan Sutringah di Banyumas. Yati, seorang perempuan difabel dan kerap disepelekan. Orang di sekelilingnya cenderung meragukan kemampuannya. Lewat tekad dan konsistensinya, Yati berhasil mendapatkan kepercayaan pemilik usaha tenun Iurik, yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Dan menciptakan tradisi baru lurik dengan menggunakan warna-warna cerah yang keluar dari jalur warna-warna tradisi lurik.
Sedangkan Sutringah, sosok istri yang harus mengambil tanggung jawab mencari penghasilan setelah suaminya lumpuh karena jatuh dari atas pohon kelapa saat menderes nira. Sutringah sampai pada satu titik keterdesakan, sehingga tidak peduli lagi apa pendapat orang lain dan tradisi di kampung penderes.
Tiga tokoh, tiga cerita, dalam satu film. Tiga perempuan melawan kuasa patriarki. Ketiganya menyampaikan pesan, ‘jangan sepelekan kekuatan tekad perempuan.” Dalam tekanan dan keterdesakan, perempuan mampu melakukan perlawanan dengan cara tak terduga-duga.
Film Empu diinspirasi dari cerita dan sosok-sosok nyata. Cerita tentang kehidupan warga biasa dalam mengelola sumberdaya alam yang memiliki narasi-narasi penting bagi publik luas. Medium film cerita dipilih agar narasi-narasi tersebut mampu menyebar dengan lebih mudah dan leluasa menelusup hingga relungrelung batin kita yang paling dalam. Menguji kepekaan batin, menawarkan inspirasi perubahan.
“Pada akhirnya, film ini bukan cerita superheroes. Juga, bukan cerita seperti di sinetron televisi. Tidak berakhir manis dengan kejutan indah dan keajaiban magis. Melainkan, diselesaikan dengan cara sederhana, dengan solusi-solusi yang ada di sekitar mereka. lni film sederhana. Dan, saya bangga menjadi bagian dari film ini,” ucap Catharina seperti termaktub dalam rilis yang diterima redaksi.
Film ini memperlihatkan bahwa perempuan sebagai sosok yang lembut juga memiliki peranan penting meski dalam keseharian dianggap sepele. Bagaimana cara mereka menempatkan diri, berperilaku dan bertindak dalam menghadapi beragam situasi dijelaskan dengan sederhana dan tegas.
Tiga kisah perempuan di atas memang sangat banyak terjadi di Indonesia khususnya di daerah. Cerita-cerita ini diambil berdasarkan temuan GEF SGP Indonesia bersama Terasmitra dalam perjalanannya mendampingi wirausaha sosial berbasis komunitas.
Film ini diproduksi oleh GEF SGP, Terasmitra dan Impro Visual Storyteller sebagai rumah produksi untuk Perempuan Indonesia…..!