
(28/6/2025) Dua hari penuh hujan, 28-29 Juni 2025, Teater Arena Hutan Kota Bulukumba merona segar. Disini banyak aksi dan gagasan saling berpelukan hangat dalam Festival 3 Sungai.
Poster-poster bertema green di Festival 3 Sungai berkibar pelan diterpa angin, seolah menatap setiap orang yang datang dengan tatapan menuntut: sudahkah kau peduli?
Generasi Alpha yang berani bersuara
Di Festival 3 Sungai kita bisa mendengarkan pengalaman Khumairah dari SMPN 10 Ujung Loe.
Ia tak bicara teori. Setiap pekan, dia bersama teman-temannya mengumpulkan plastik yang hanyut di sungai Balangtieng. Tak jarang, bau busuk menempel di tangan, sulit hilang sampai rumah.
Kita juga bisa berkenalan dengan Nur Aena dari SMPN 40 Bontomanai yang bercerita bagaimana sampah sabun dan plastik sekali pakai bisa menyaru dedaunan kering.
Dari dapur, lahir perubahan
Festival 3 Sungai bukan hanya diskusi. Di sini ada tenda putih berdiri teduh untuk workshop kompos dapur.
Husniati Rauf dari Desa Kambuno menunjukkan cara membuat ecoenzym—larutan fermentasi yang bisa menjadi cairan pembersih serbaguna.
Para pengunjung juga bisa berkenalan dengan Siti Nur Aisyah Basry yang menyiapkan peralatan membuat sabun alami. Di meja kayu, barisan minyak kelapa, soda api, dan bunga kering tersusun rapi.
Ancaman plastik di pesisir Bonto Bahari
Diskusi lain membuka tabir yang lebih getir. Yuly Vernlianity dari Indo Ocean Project duduk bersama Rahmat Zul dari GaiaOne Restoration, Vasco Martins dari University of Portsmouth, dan moderator Indiz Essa Rutepa.
Plastik yang kita buang tak pernah benar-benar lenyap. Ia berpindah ke laut, menjerat penyu, masuk ke perut ikan, lalu menunggu di piring makan kita.
Jika tak ada perubahan drastis, ekosistem Bonto Bahari bisa ambruk dalam waktu lebih singkat dari yang diperkirakan.
Kearifan lokal, jalan pulang yang terlupa
Diskusi tentang kearifan lokal akan dihelat pada hari kedua. Wahidin, perwakilan Masyarakat Kajang, duduk berdampingan dengan Sri Puswandi, petani gula aren alami.
Mereka akan bicara tentang kebiasaan lama—memilah sampah organik, tak menebang sembarangan, dan menanam pohon di bantaran sungai.
Di tengah krisis iklim, kearifan lokal bukan romantisme. Ia adalah jalan pulang.
Cerita dari tiga sungai yang mengalir sampai hati
Di panggung diskusi lainnya, ada Agus Riadi Maula, Anis Kurniawan, Andi M Ichdar YM, dan Sunarti Sain dalam diskusi “Cerita dari Tiga Sungai.”
Mereka berbicara bukan hanya dengan data, tapi dengan pengalaman. Bagaimana sungai menjadi halaman belakang masa kecil, sumber rezeki, dan saksi diam kebiasaan buruk yang lama dibiarkan.
Festival 3 Sungai Bulukumba bukan sekadar acara. Ia adalah ajakan pulang: menata ulang cara kita memandang limbah, sungai, dan tanggung jawab. Karena yang rusak bukan cuma air, tapi masa depan kita sendiri.
Kolaborator Festival 3 Sungai
Festival 3 Sungai Bulukumba bukan sekadar panggung diskusi. Ia berdiri berkat jejaring kolaborasi yang luas—mulai dari lembaga konservasi, komunitas seni, media lokal, hingga gerakan akar rumput.
Nama-nama seperti Kebun Bersama, ECOTON, Balang Institute, Teater Kampong, dan Kolaborasi Biru menjadi garda depan yang merancang acara ini sejak awal. Bersama Teras Production, Siring Bambu, KMPS, Inisiatif Balantieng, Lopi, dan Relawan Gesit Chapter Bulukumba, mereka merangkai program yang tak hanya menghibur, tapi juga membangkitkan kesadaran.
Dukungan juga datang dari University of Portsmouth yang berbagi perspektif riset, Pelangi Music School yang mengisi ruang seni, hingga Klik Hijau, KliSulsel.id, dan Bicara Baik.id yang menyebarkan kabar baik ke lebih banyak orang.
Tak ketinggalan Macaca Maura Project, Solam, Radar Selatan, Info Bulukumba, Refilltor, Kerja Jelas Production, Sulsel Network, A20 Project, dan para pemusik Bulukumba yang membuat festival ini terasa hidup.
Semua bersisian bersama sanggar seni, rumah baca, hingga komunitas pemuda—Sanggar Seni Turiolo Kajang, Rumah Buku, SSB Batugarumbing, dan Anu Bersama—menunjukkan bahwa menjaga sungai bukan kerja satu pihak, melainkan kerja bersama.***

