(+62) 21 720 6125 ︱ (+62) 21 727 90520

en_US English
en_US English id_ID Bahasa Indonesia

Join Us!

Instagram Facebook-f Linkedin-in Twitter
  • Home
  • SGP Indonesia
  • Proposal
  • Publication
    • Grantees Product
    • News
    • Books
    • Photostory
    • Grantees Partner's Report
  • Gallery
  • Guidelines
  • Contact Us
  • Data Online

Menu Categories
  • Home
  • SGP Indonesia
  • Proposal
  • Publication
    • Grantees Product
    • News
    • Books
    • Photostory
    • Grantees Partner's Report
  • Gallery
  • Guidelines
  • Contact Us
  • Data Online
  • Solar Panels
  • Wind Turbine
  • Biomass
  • Geothermal
  • Monocrystalline
  • Polycrystalline
Facebook Twitter Youtube Linkedin Whatsapp

Kembali ke Akar, Cerita Hamzah Sarjana Kehutanan yang Memilih Bertani Kopi di Desa Kahayya

07/07/2025 /Posted byadmin sgp
Hamzah, sarjana fakultas kehutanan, kembali ke Desa Kahayya, Kecamatan Kindang, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Sulawesi Selatan, untuk membersamai orangtua dan bertani 
 kopi
.(Dokumentasi Pribadi)

(7/7/2025) Kota memang menjanjikan beragam kemudahan dan kesempatan. Status sosial hingga ekonomi pun bisa meningkat. Tapi, hiruk-pikuk kota tidak membuat Hamzah, 29 tahun, bergeming. Di saat anak-anak muda berlomba untuk ‘menantang’ kehidupan kota, Hamzah malah kembali ke desa: Tujuannya ada dua: bertani kopi dan lebih dekat dengan keluarga.

Lulusan S1 fakultas kehutanan ini emoh menetap setelah bertahun-tahun mencicipi hiruk pikuk Kota Makassar dan Kabupaten Morowali, Sulawesi Selatan. Dia memilih kembali ke kampung di Desa Kahayya, Kecamatan Kindang, Kabupaten Bulukumba, untuk menghidupkan kembali ladang kopi peninggalan orang tuanya.

Di Kota Makassar, Hamzah menimba ilmu di salah satu universitas. Sambil mencicipi bangku kuliah, dia pun bekerja sebagai operator dan desain bordir. Bertahun-tahun di Kota Makassar, Hamzah pun memutuskan untuk pindah kerja di Kabupaten Morowali. Namun, putusan terbesarnya adalah ketika kembali ke desa untuk bertani kopi. 

Ya, keputusan tersebut bukan tanpa pertimbangan. Dia menyudahi 12 tahun masa perantauan di luar Desa Kahayya hanya demi keinginan lebih dekat dengan keluarga. Apalagi, orangtua Hamzah di desa sudah beranjak tua. Tentunya, butuh perhatian Hamzah. Kekinian, sudah hampir 3 tahun dirinya menetap di desa untuk bertani kopi.

“Saya sempat kerja di Makassar, lalu ke Morowali. Sekitar 2-3 tahun terakhir, saya kembali ke Kahaya untuk bertani kopi. Saya meninggalkan kota dan kembali ke desa karena ingin lebih dekat kepada keluarga. Selain orangtua yang lumayan tua, saya menyadari hasil kopi lumayan untuk kebutuhan sehari-hari,” ujar Hamzah saat ditemui, beberapa waktu lalu.

Menurut Hamzah, penghasilan yang didapat baik dari kota maupun di desa sejatinya tidak berbeda jauh. Bahkan, kata dia, jumlah penghasilannya relatif sama. Tapi yang membedakan, tentunya intensitas pendapatannya. Di kota, dia mendapatkan pendapatan bulanan. Di desa, berbeda. Dia memantik penghasilan per musim dari kopi.

“Pendapatan dari kopi dengan dari pekerjaan di kota, nominalnya hampir sebanding. Cuma kan kalau kerja di kota itu pendapatannya per bulan. Sementara, kopi itu (pendapatannya) per musim. Tapi kalau untuk angkanya, ya sebandung. Di sisi lain, kalau di sini (Desa Kahayya) kan sudah dekat sama keluarga,” terang Hamzah.

Menanam Kopi, Merawat Warisan Keluarga

Langkah Hamzah kembali ke desa memang bukan sekadar romantisme masa lalu. Tapi, langkah tersebut merupakan keputusan sadar untuk menjaga warisan keluarga–berupa tanah ladang–sekaligus membangun masa depan yang lebih berkelanjutan.

Orangtua Hamzah mewarisi sekitar 3 hektare ladang. Tanah tersebut dibagikan ke Hamzah dan 6 saudaranya. Wasiatnya hanya ingin agar tanah yang kosong tersebut, ditanami kembali. Kekinian, Hamzah sudah memenuhi wasian orangtua tersebut. Kurang lebih 1 hektare tanah ladang sudah ditanami kopi oleh Hamzah.

“Saya ada tujuh bersaudara, jadi tanah itu dibagi. Ada wasiat dari orangtua agar lahan yang kosong ditanam kembali. Sekarang, saya sudah menanam kurang dari 1 hektare. Memang belum sepenuhnya karena saya baru tinggal di desa,” terang Hamzah.

Kopi memang bukan benda yang asing bagi keluarga Hamzah. Selama beberapa generasi, kopi menjadi bagian tak terpisahkan dari keluarga Hamzah. Ia mengenang bagaimana kehidupan di Desa Kahayya sejak dulu selalu berkaitan erat dengan tanaman kopi. Dari nenek moyang hingga orangtua Hamzah, semuanya mayoritas petani kopi.

“Kalau di kopi, sebenarnya orangtua dan nenek moyang itu mayoritas petani kopi. Sudah lama terjun ke pertanian kopi. Jadi, meski merantau atau keluar sekolah saat pagi, tetap kita terjunnya ke kebun kopi. Namun, saat ini orangtua lebih banyak di rumah. Saya yang turun ke ladang,” ujar Hamzah.

Nggak cuma itu, Hamzah pun mengaku mendapatkan ilmu tentang kopi dari keluarganya. Saban hari. Hamzah bersama orangtua dan keluarga lainnya dibiasakan untuk turun ke kebun. Selama itu, dia kerap melihat aktivitas keluarganya di ladang, dari mulai menanam, memetik merah hingga proses lain terkait kopi.

Mengutip laman Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, petik merah yakni memanen buat kopi yang sudah memerah. Keuntungannya yakni mutu buahnya bagus sehingga biji kering bermutu baik. Petik merah memiliki tantangan yakni harus mengejar kematangan yang tepat. Buah kopi tidak akan dibiarkan terlewat masak dan yang belum masak tidak akan dipetik.

Nah, dalam proses bertani, Hamzah tak sendiri. Ia mendapatkan dukungan dari program Global Environment Facility (GEF) Small Grants Programme (SGP) Indonesia yang memberikan pelatihan dan pendampingan. Program ini memperkenalkannya pada praktik pertanian berkelanjutan dan pengolahan kopi berkualitas.

Jumlah panennya pun terbilang cukup menggiurkan selama dua tahun Hamzah bertani kopi. Dari panen terakhir bersama orangtua, misalnya, Hamzah berhasil menghasilkan sekitar satu ton kopi. Adapun jenis yang paling awam ditanam di Desa Kahayya yakni kopi jenis Arabika.

“Kurang lebih (panen) satu ton. Saya kan tujuh bersaudara. Setiap orang panennya berbeda. Yang satu ton itu saya dan orangtua. Kopi yang ditanam di sini jenis Arabica. Di sini fokusnya ke Arabica. Untuk varietasnya, para petani tidak tahu menahu. Mereka tahunya Arabica,” tutur Hamzah.

Hidup Tenang, Mandiri, dan Lebih Bermakna

Setelah lebih dari satu dekade merantau, Hamzah mengaku sempat merasa asing saat pertama kali kembali. Namun, perasaan itu perlahan sirna tergantikan oleh kenyamanan hidup di kampung halaman yang damai dan tenang. Hamzah mengaku, “rasanya masih agak asing. Tapi hidup di sini lebih enak, lebih nyaman dan tenang di kampung.”

Bertani kopi memang memberikan Hamzah kebebasan. Nggak cuma itu, dia juga mendapatkan otonomi yang tidak dia rasakan saat bekerja di kota besar. Bahkan, selama menetap di Desa Kahayya, Hamzah mengadopsi gaya slow living, yakni konsep hidup yang lebih bermakna dan menikmati segala sesuatunya. Dalam hal ini, Hamzah menikmati ritme hidup sebagai petani.

“Seru. Gak ada tekanan juga. Kan kalau kerja di luar itu, ada atasan. Kemungkinan besar ada tekanan setiap hari. Nah, kalau bertani itu bebas. Yang penting disiplin, mau pagi keluar atau siang. Kita yang mengatur sendiri,” cerita Hamzah mensyukuri hidupnya kini.

Hamzah pun tak puas hanya bertani kopi. Kini, dia dan keluarganya ternyata tengah mengembangkan lahan kebun kopi menjadi destinasi wisata berbasis alam. Bahkan, mereka menyiapkan segala fasilitas umum untuk pengunjung hingga strategi untuk membuka kemungkinan wisata edukatif.

“Kami juga mau mengadakan kegiatan wisata sambil petik kopi. Jadi pengembangannya nggak sekadar camping. Tapi ada edukasi soal kopi,” kata Hamzah.

Anak Muda Jangan Gengsi Jadi Petani

Nah, sebagai anak muda yang memilih kembali bertani di desa, Hamzah menyadari minimnya keterlibatan generasi muda. Apalagi kekinian, pertanian bukanlah salah satu bidang yang paling diminati anak-anak muda. Karena itu, dia berharap kisahnya bisa menginspirasi pemuda lain agar tidak ragu memilih jalur yang serupa.

“Saat ini tidak banyak petani kopi yang muda. Apalagi, sekarang juga orientasi anak muda itu pengen kerja di kota. Ini yang sekarang saya rasakan selama tinggal di desa. Dari saya untuk anak muda, jangan gengsi untuk bertani, terutama bertani kopi. Apalagi kopi seperti yang dikenali di sini, cukup menjanjikan untuk para pemuda,” ungkap Hamzah.

Dengan latar belakang akademis di bidang kehutanan, serta kecintaan terhadap tanah kelahirannya, Hamzah menunjukkan bahwa bertani bisa menjadi profesi yang menjanjikan—bukan hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga dari sisi keberlanjutan lingkungan dan kualitas hidup.

“Kalau dari segi perbedaan di kota atau di kampung sendiri, banyak sekali. Mulai dari kedekatan kita sama keluarga, apalagi mayoritas (keluarga) ada di kampung. Nah, kalau dari segi pendapatan, dengan nominal atau jumlah yang sama tentunya lebih senang (tinggal) di kampung,” terang Hamzah.

Apalagi, imbuh dia, melihat perkembangan kopi sekarang dibanderol dengan harga yang cukup menjanjikan ke depannya. Hal itulah salah satunya yang membuat dirinya enggan untuk kembali mencicipi hingar bingar kota.

“Saat ini saya belum kepikiran untuk kembali ke kota, masih kepengen di kampung,” kata Hamzah.

Dengan setiap biji kopi yang disemai, Hamzah menanam harapan: bahwa kembali ke desa bukan kemunduran, melainkan langkah maju untuk hidup. Dia kini lebih dekat dengan alam, keluarga, dan masa depan yang tentunya lestari cum berkelanjutan.

Sumber: https://www.suara.com/lifestyle/2025/07/07/163430/kembali-ke-akar-cerita-hamzah-sarjana-kehutanan-yang-memilih-bertani-kopi-di-desa-kahayya?page=2

Tags: Bulukumba, GEF SGP Indonesia, Kopi Kahaya, Mitra Lokal GEF SGP Indonesia, Tradisi Untuk Lingkungan
Festival 3 Sungai di Bulukumba...
Mahasiswa UNU Gorontalo Tanam ...

Comments are closed

GEF SGP Indonesia

Jalan Alam Segar VII No.14, RT.6/RW.16,
Pd. Pinang, Kec. Kby. Lama, Kota Jakarta Selatan,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 12310

About GEF SGP Indonesia

    • Services

    • Media

    • News

Contact Us

Phone :

+62 21-720-6125

+62 21-727-90520

Whatsapp ( chat only ) :

+62 813-3350-4969

Email : info@sgp-indonesia.org

© GEF SGP Indonesia 2023