- Pemerintah tampak belum serius membangun pangan berkelanjutan. Banyak lahan pangan berubah fungsi, seperti jadi kebun sawit. Pemerintah lebih menekankan ketahanan pangan hingga angka impor pun makin tinggi. Sebenarnya, sejak lama Indonesia mengalami darurat pangan, antara lain, terlihat dari jumlah petani dan nelayan menurun dan lahan pangan tergerus.
- Ekspansi perkebunan sawit yang menyasar lahan pangan, tak hanya terjadi di luar Jawa, juga di Jawa. Di Pandeglang, Rangkasbitung, Bogor, Sukabumi sampai ke Garut di lahan PTPN VIII juga banyak terjadi konversi lahan jadi sawit. Kemudian di Jatim juga marak tanam sawit terutama di Blitar dan Malang.
- Jumlah petani dalam satu tahun turun 200.000 dengan alasan keluar atau dipaksa keluar dari lahan. Nelayan juga menurun. Sepanjang 2000-2016, ada 800.000 nelayan dipaksa tak jadi nelayan lagi.
- Guna mendukung agenda kedaulatan pangan, Jokowi sempat menjanjikan membangun 1.000 desa mandiri benih dan 1.000 desa organik. Hingga kini, realisasi tidak jelas.
Sektor pangan berkelanjutan tampak belum jadi perhatian pemerintah, terlihat dari dokumen teknokratik rancangan pembangunan jangka menengah (RPJMN) 2019-2024. Belum lagi, banyak lahan pangan berubah fungsi, seperti jadi kebun sawit. Pemerintah lebih menekankan ketahanan pangan, angka impor pun makin tinggi.
Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera mengatakan, dalam dokumen teknokratik RPJMN 2020-2024, isu pangan tak lagi jadi prioritas dalam agenda pembangunan.
Meskipun Jokowi mengangkat isu kedaulatan pangan, katanya, tetapi penjabaran dalam RPJMN tidak sesuai, masih kembali pada pola lama, soal ketahanan pangan.
“Di kementerian teknis ataupun koordinator, masih gunakan terminologi ketahanan pangan dengan berbagai alasan. Menurut mereka perlu mantapkan ketahanan pangan dulu, kemudian stabilisasi harga, perbaikan pola konsumsi, kemudian mitigasi dan adaptasi bencana, lalu peningkatan kesejahteraan,” katanya.
Untuk program pun, Jokowi mengulang program pemerintahan sebelumnya, seperti mendahulukan ketersediaan padi, atau jagung. “Padi dengan operasi khusus pajale. Kemudian, daging sapi dan gula. Harusnya berbeda kalau gunakan terminologi kedaulatan pangan.”
Pada periode pertama pemerintahan Jokowi, pangan jadi salah satu prioritas yang tertuang di Nawa Cita tentang kedaulatan pangan. Meski dalam implementasi banyak kritik, katanya, program kedaulatan pangan ini menghasilkan capaian peningkatan produksi pangan dan menurunkan angka kerawanan pangan hingga 7,9%.
Kalau melihat capaian bidang pangan, sebenarnya tak terlalu menggembirakan. Untuk padi, misal, dari target 82 juta ton pada 2019, capaian 83 juta ton. Jagung, target 2019 sebesar 24,1 juta ton, capaian 30 juta ton. Capaian positif dari kedua komoditas ini, katanya, tak diikuti komoditas lain.
Kedelai, target 2,6 juta ton, terealisasi hanya 0,98 juta ton, gula target 3,8 juta ton, capaian 2,45 juta ton. Daging, target 0,75 ton, capaian 0,49 juta ton. Capaian rendah membuat impor pangan Indonesia masih tinggi.
“Produksi beras kita tinggi, tapi impor juga tinggi. Pemerintah beralasan impor beras premium, beras cadangan dan lain-lain. Itu layak untuk diperdebatkan,” katanya.
Kalau melihat tren impor pangan Indonesia, dari tahun ke tahun menunjukkan kenaikan. Untuk beras, tahun 2010 sebesar 0,687 juta ton. Pada 2018, naik 2,250 juta ton. Untuk impor garam dari semula 2,083 juta ton, meningkat jadi 3,7 juta ton.
Kedelai dari 1,74 juta ton jadi 2,58 juta ton. Gandum dari 4,81 juta ton, jadi 10 juta ton. Sementara untuk daging sapi dari 0,45 juta ton, jadi 0,75 juta ton.
Ketergantungan tinggi juga terjadi di gandum. “Kita tak bisa produksi hingga 100% gandum itu impor. Kalau kita komparasikan dengan membangun kedaulatan pangan, sebenarnya Ini salah satu lubang yang menganga makin besar. Indonesia saat ini jadi negara pengimpor gandum terbesar di dunia,” kata Tejo.
Guna mendukung agenda kedaulatan pangan, Jokowi sempat menjanjikan membangun 1.000 desa mandiri benih dan 1.000 desa organik. Menurut Tejo, hingga kini realisasi tidak jelas.
“Sampai saat ini tak ada laporan data. Kalau tercapai ada dimana saja? Kalau tidak tercapai kenapa? Data misterius.” Dia coba ke Kementerian Pertanian, mereka tak bisa menjawab dengan meyakinkan kalau sudah tercapai.
Sebenarnya, sejak lama Indonesia mengalami darurat pangan, antara lain, terlihat dari jumlah petani dan nelayan menurun dan lahan pangan tergerus. Impor pangan meningkat terus.
Jumlah petani dalam satu tahun turun 200.000 dengan alasan keluar atau dipaksa keluar dari lahan. “Ini masih lebih moderat dibandingkan 2003-2013, angka pertahun 500.000-an. Itu mestinya jadi perhatian pemerintah,” katanya.
Nelayan juga menurun. Sepanjang 2000-2016, ada 800.000 nelayan dipaksa tak jadi nelayan lagi. “Angka 800.000 selama 16 tahun mungkin dianggap tak tinggi. Kalau dilihat dari total nelayan, ini signifikan. Lahan pertanian juga menurun cepat. Sebelum 2003-2013, sekitar 100.000-110.000 hektar pertahun. Harusnya ini jadi perhatian pemerintah, bagaimana menyusun strateginya.”
Menurut dia, perlu keseriusan Kabinet Indonesia Maju segera menata sistem pangan berkelanjutan. Sistem pangan berkelanjutan, katanya, perlu koordinasi dan integrasi dari berbagai sektor terlibat dari produksi, pengumpulan, pemrosesan, distribusi, konsumsi dan sampah pangan dari pertanian, kehutanan dan perkebunan serta perikanan. Hal ini, katanya, jadi bagian tak terpisahkan dari sistem ekonomi, sosial dan lingkungan.
”Sayangnya, hingga kini, arah kebijakan pangan masih sektoral, jangan heran kalau Indonesia akan menghadapi krisis pangan, gizi, lingkungan makin dalam. Akhirnya, akan menghambat Indonesa untuk maju.”
Konversi lahan pangan ke sawit
Konversi lahan pangan banyak terjadi seiring massif ekspansi perkebunan sawit. Lahan pangan seperti sawah, ladang, banyak berubah jadi perkebunan sawit.
“Kalau kita lihat di Pantai Timur Sumatera, tahun 80-an itu belum jadi perkebunan sawit. Setelah 2000-an, semua berubah jadi perkebunan sawit,” kata Ahmad Surambo dari Sawit Watch dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (15/1/20).
Di Sumatera Utara, dulu mengenal Labuanbatu, satu kabupaten penghasil beras. Mulai 2000-an, ekspansi sawit besar-besaran hingga menimbulkan perubahan bentang alam.
Meskipun era Pemerintahan Jokowi lahir UU Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan, tetapi implementasi di lapangan minim. Peraturan daerah yang dibuat di beberapa daerah guna mendukung UU itu justru banyak copy paste. Hal ini terjadi, katanya, karena dukungan pemerintah pusat kepada daerah dalam mengimplementasikan UU ini juga rendah.
Dia menghitung keperluan minyak sawit global untuk pangan pada 2004 hanya 30 juta ton. Pada 2030, dia perkirakan kebutuhan jadi 50-an juta ton.
Ketika tanpa ada cerita biofuel, perlu lahan tambahan sekitar 4-6 juta hektar. Begitu ada soal biofuel, bisa bertambah sampai 10 juta hektar.
“Nah itu diambil dari mana, itu juga jadi soal. Menurut saya, tidak pernah dijelaskan detail wilayah mana. Pemerintah selalu mengatakan wilayah itu APL (alokasi penggunaan lain-red). APL ini biasa sebelum jadi sawit, itu kebanyakan lahan pangan,” katanya.
Sawit Watch mencatat, data tutupan sawit di Indonesia mencapai 22,8 juta hektar. Angka ini berbeda dengan data pemerintah berkisar 16 jutaan hektar.
Rambo bilang, perkebunan sawit banyak menyasar lahan pangan karena tak perlu land clearing hingga menghemat dana.
“Kita kalau ditanya berapa sebenarnya perubahan bentang alam dari wilayah pangan jadi sawit, itu kita agak susah menghitungnya. Kita mendefinisikan pangan itu sangat luas. Pangan ini bukan hanya beras dan sawah. Kebun buah pun juga masuk kategori lahan pangan.”
Ekspansi perkebunan sawit yang menyasar lahan pangan, katanya, tak hanya terjadi di luar Jawa, juga Jawa banyak terjadi. Di Pandeglang, Rangkasbitung, Bogor, Sukabumi sampai ke Garut di lahan PTPN VIII juga banyak terjadi konversi lahan jadi sawit. Kemudian di, Jatim juga marak tanam sawit terutama di Blitar dan Malang.
“Jika terus dibiarkan, apa yang terjadi di Pantai Timur Sumatera, bisa juga terjadi di pesisir selatan Jawa. Kalau Undang-undang lahan pangan berkelanjutan tidak diimplementasikan dan semua diserahkan ke pasar, bukan tak mungkin tragedi pantai timur Sumatera akan terjadi di Jawa,” katanya.
Untuk itu, pemerintah harus menyiapkan skema khusus hingga lahan-lahan pangan bisa benar-benar terlindungi dan tak terjadi konversi.
Titik-titik lahan pangan, katanya, seharusnya mendapatkan perlindungan pemerintah dan ‘jaga’ dengan angggaran daerah atau pusat.
Dalam kerangka kebijakan, katanya, provinsi atau kabupaten itu sebenarnya sudah punya dokumen perlindungan lahan pangan berkelanjutan. “Hanya sebagai dokumen. Tidak ada budget untuk mengawal itu semua. Konversi lahan pangan jadi sawit, itu mudah sekali terjadi.”
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 memperlihatkan luas sawah yang hilang. Dalam laporan Indikator Kesejahteraan Rakyat 2019 BPS menyebutkan, pada 2012, luas lahan sawah mencapai 8.127.264 hektar, terus menurun hingga 8.087.393 hektar.
Luas area persawahan makin menurun akan berpengaruh terhadap penurunan luas panen, hingga berdampak pada penurunan produksi pertanian. “Apabila terus dibiarkan, akan berdampak pada ketahanan pangan di wilayah itu,” kata BPS, seperti dikutip dari KBR.
BPS menyebutkan, wilayah-wilayat penyusutan lahan pertanian dari barat sampai timur Indonesia, yakni, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Kepulauan Riau, Jakarta, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Tengah, dan Maluku.
Penyusutan lahan pertanian, menurut BPS banyak terjadi karena proyek perkebunan sawit dan pembangunan permukiman.
Contoh, di Kalimantan Timur, penyusutan lahan persawahan terjadi setiap tahun karena beralih fungsi jadi perkebunan sawit. Begitu juga di Maluku, penyusutan lahan persawahan sebagai efek pembangunan real estate.
Keterangan foto utama: Panen padi organik. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia
https://www.mongabay.co.id/2020/01/16/pemerintah-tak-serius-bangun-pangan-berkelanjutan/