by adeirwansyah
Bu Tejo dan Tiga Perempuan dalam “Empu”
oleh Ade Irwansyah
Saat saya nonton film “Empu” di TVRI, Rabu malam (19 Agustus 2020) lalu, nama Bu Tejo trending topic di Twitter. Bu Tejo adalah salah satu karakter di film pendek “Tilik” yang viral setelah diunggah ke Youtube oleh pemilik filmnya.
Nama Bu Tejo trending lantaran ia banyak disebut netizen jagat Twitter. Banyak orang merasa terhubung dengan sosok ibu-ibu penggosip ini. Sosok seperti Bu Tejo dianggap mudah ditemukan di dunia nyata.
Film “Tilik” (sutr. Wahyu Agung Prasetyo), yang sepanjang setengah jam isinya mendengar ibu-ibu bergosip di atas truk, begitu disuka hingga jadi viral juga lantaran orang merasa fenomena itu dekat dengan keseharian banyak orang.
Walau saya akui menikmati menonton “Tilik” dan tak memungkiri ibu-ibu semacam Bu Tejo (diperankan Siti Fauziah) memang ada di dunia nyata, namun tetap ada rasa tak nyaman menontonnya. Dengan menyuguhkan ibu-ibu bergosip berbasis info tak berdasar sambil sang protagonis “melawan” tanpa perlawanan alias lemah bikin filmnya bak menggarami makanan yang sudah asin. “Tilik” menjadi justifikasi stereotipe pada perempuan tukang gosip. Tidak lebih.
Di sini kemudian, saat menonton “Empu”, saya seperti menemukan oase di padang pasir. “Empu” dibesut Harvan Agustriansyah yang aslinya rilis tahun lalu. Tidak di bioskop komersil, tapi dari festival ke festival.
Film berdurasi 60 menit ini buat saya antitesis dari “Tilik”. “Empu” menyuguhkan tiga perempuan tangguh yang masing-masing melawan stereotipe yang telah melekat pada wanita.
Di “Empu” kita berjumpa dengan Sutringah (Annisa Hertamil), istri seorang petani gula di Banyumas, Jawa Tengah. Di tengah kesusahan hidup dengan penghasilan pas-pasan, musibah melanda keluarga kecil Sutringah. Suaminya jatuh dari pohon, lumpuh dan tak bisa lagi jadi tulang punggung keluarga. Sementara itu, penagih utang datang terus ke rumah.
Lalu ada Yati (Tiara Arianggi) di Klaten, Jawa Tengah. Perempuan yang sehari-hari duduk di kursi roda ini merasa hidupnya tak punya arti lagi. Usaha kain lurik keluarga yang dikomandoi ayahnya tak memeberinya kesempatan berinovasi. Bekerja di pabrik sama saja. Ia sekadar jadi hiasan. Mungkin demi memberi citra baik bagi perusahaan menerima karyawan difabel. Usulannya tak digubris kepala bagian. Di pabrik, ia diperlakukan bak robot.
Terakhir ada Maria (Putry Moruk) di Kefamenanu, Nusa Tenggara Timur. Mata pencahariannya dan perempuan-perempuan lain di desanya sebagai penenun kain tradisional terancam. Rumah yang biasa mereka pakai menenun dan berjualan kain tenun berdiri di tanah sengketa. Datang ke pengadilan, ia berhadapan dengan tembok yang dibentengi orang-orang kaya dan berpengaruh.
***
“Dadi wong iki mbok sing solutif,” demikian kata Bu Tejo dalam “Tilik”. Bagi Bu Tejo, menjadi orang yang memberi solusi adalah mengusulkan jalan-jalan ke pasar saat menjenguk ke rumah sakit batal karena yang sakit tak bisa dijenguk. Sebuah solusi yang lagi-lagi mengekalkan stereotipe kita pada ibu-ibu (baca: perempuan).
Sutringah, Yati dan Maria dalam “Empu” juga punya solusi masing-masing pada persoalan hidup mereka. Maria membujuk dengan gigih guru SD agar menenun menjadi pelajaran ekstrakulikuler di sekolah di desanya. Ia jadi tak kehilangan pekerjaan. Juga tradisi menenun bakal diteruskan generasi muda.
Yati keluar dari pabrik dan kembali mengusulkan pada sang ayah agar membuat lurik berwarna cerah demi menggaet lebih banyak peminat. Sedangkan Sutringah memberanikan diri melawan stigma perempuan harus bekerja di dapur dengan menggantikan tugas suami memanjat pohon mencari bahan baku pembuat gula.
Sayang, memang, “Empu” tak jadi film yang viral dibincangkan orang di jagat maya. Padahal, konon cerita tiga perempuan di film itu berangkat dari kisah nyata. Artinya, seperti sosok Bu Tejo di “Tilik” yang bisa kita temui sehari-hari, perempuan yang punya persoalan hidup semacam Sutringah, Yati, dan Maria juga bisa kita temukan dengan mudah di kehidupan nyata.
Pada akhirnya, yang ingin saya katakan, perempuan tak pernah hanya ada satu jenis. Perempuan bukan cuma ibu-ibu yang naik motor belok kanan tapi beri lampu sen kiri; bukan melulu tukang gunjing; tapi juga mampu jadi pencari nafkah utama, punya daya kreatif tinggi, serta inisiatif yang jitu untuk melestarikan budaya yang tergerus modernisasi.
Perempuan bukan cuma Bu Tejo. Tapi juga Sutringah, Yati, dan Maria.***