Tuesday, March 31, 2020 11 Komentar
Film Empu terinspirasi dari kisah nyata perjalanan perempuan dalam memahami peranan kesehariannya dan benturannya dengan kenyataan lingkungan, politik, dan ekonomi. Tiga perempuan bergulat menghadapi persoalan hidup dengan cara masing-masing. Situasi yang sulit tidak membuat mereka menyerah. Mereka menemukan jalan keluar sederhana tanpa harus merendahkan pihak lain.
Satu paragraf tersebut menjelaskan mengenai film yang diputar di BaKTI (Bursa Pengetahuan Indonesia Timur). Saya tertarik membaca ini makanya saya menghadiri acara “Rayakan International Women’s Day di Cinematica!” pada tanggal 13 Maret lalu di gedung BaKTI, jalan A. Mappanyukki.
Film ini bercerita tentang Sutringah alias Tri, Maria, dan Yati – 3 perempuan dari 3 wilayah berbeda di Indonesia.Tri di Banyumas, Maria di Kefamenanu (Nusa Tenggara Timur), dan Yati di Klaten. Ketiganya merupakan potret perempuan kalangan menengah ke bawah dengan batasan lingkungan, politik, dan ekonomi.
Batasan-batasan yang mengungkung membuat ketiga perempuan itu bergulat menghadapi persoalan hidup dengan cara masing-masing. Situasi yang sulit tidak membuat mereka menyerah. Hingga mereka menemukan jalan keluar sederhana tanpa harus merendahkan pihak lain.
Tri adalah istri petani gula aren yang suaminya memiliki paham tradisional mengenai peran suami dan istri. Maria adalah janda yang memperjuangkan salah satu produk budaya setempat. Sementara Yati adalah perempuan difabel yang berkoflik dengan orang sekeliling karena keadaan dan pekerjaannya.
Ada benang merah dari ke-3 tokoh dalam film indie hasil kerja sama GEF SGP[1], Terasmitra[2], dan Impro-Visual Storyteller[3] ini. Ketiganya merupakan perempuan tangguh yang memperjuangkan kehidupan mereka dalam keterbatasan. Saya menikmati film ini dengan menyimak berbagai pelajaran kehidupan melalui pengalaman ketiga tokohnya.
Tri, Maria, dan Yati menunjukkan bahwa solusi bisa diperoleh jika kita benar-benar mengupayakannya meski dalam keterbatasan dan penentangan sekalipun. Tri bukan hanya harus menghadapi suami yang masih saja marah-marah meski hanya bisa terbaring di tempat tidur akibat lumpuh ketika bekerja sementara dirinya harus mencari cara untuk mendapatkan uang.
Maria dengan kawan-kawannya yang berpredikat janda terlihat anti mainstream ketika memperjuangkan bagaimana tenun khas daerah mereka bisa diminati anak-anak sekolah dasar untuk mempelajarinya dan agar rumah tenun Biboki kembali bisa mereka pergunakan.
Lalu Yati, di atas kursi roda memperjuangkan kapabilitasnya dalam mendesain kain ketika dipandang sebelah mata, alih-alih hanya duduk di kursi roda mengerjakan hal-hal yang tidak dia inginkan. Ironinya, dia harus memperjuangkan keyakinan bahwa dirinya mampu bukan hanya di luar rumah, melainkan juga di dalam rumahnya ketika membantu usaha kain lurik milik ayahnya.
Ketiga kisah ini layak menjadi inspirasi bagi seluruh perempuan Indonesia. Saya setuju dengan ungkapan Produser Eksekutif Catharina Dwihastarini dalam press release:
Tiga tokoh, tiga cerita, dalam satu film. Ketiganya menyampaikan pesan, “Jangan sepelekan kekuatan tekad perempuan.” Dalam tekanan dan keterdesakan, perempuan mampu melakukan perlawanan dengan cara tak terduga-duga.
Oya, press release ini baru saya baca lebih dua pekan setelah menonton film berdurasi 60 menit ini dan saya sependapat karena exactly, seperti itu juga pesan utama film ini yang saya tangkap.
Alur cerita bergerak maju, bergantian pindah dari Tri, Maria, Yati, lalu pindah ke Tri lagi, lalu Maria, kemudian Yati. Begitu terus hingga film selesai. Saya nyaman-nyaman saja, menikmati dan antusias. Ikut menebak-nebak seperti apa solusi yang diambil oleh ketiganya. Lalu merasa lega di akhir film.
Saya suka inspirasi dari kisah yang apa adanya. Yang menunjukkan bahwa solusi itu tidak jauh. Solusi ada di dekat kita, bahkan dalam diri kita sendiri. Yang penting kita mencarinya dan siap menjalani keputusan yang diambil.
Saya suka kisah inspiratif dari film EMPU, mengenai perempuan-perempuan tangguh yang tahu kelemahannya tetapi tidak cengeng dan menyerah dengan keadaan, malah tetap berpikir dan mencari jalan keluar dari persoalannya. Itu dulu yang harus dipahami oleh semua perempuan.
Perempuan dalam kungkungan batas-batas tak selamanya lemah dan tak bisa dianggap sepele. Ada potensi luar biasa yang kalau dia sadari, bisa dia pergunakan dan berdayakan. Yang penting bersedia memilih jalan yang akan dia tempuh dan tahu risikonya. Siapapun bisa menjadi perempuan seperti itu. Bukan hanya Tri, Maria, dan Yati.
Makassar, 31 Maret 2020
Empu (Sugar on The Weaver’s Chair)
Tiga Perempuan Melawan Kuasa
Pemain:
Annisa Hertami
Putry Moruk
Arianggi Tiara
Sutradara:
Harvan Agustriansyah
Produser Eksekutif:
Catharina Dwihastarini
Rendra Almatsier
Produser:
Joko Triwibowo
Skenario
Harvan Agustriansyah
Luvie Mel