PERJUANGAN keras dan ikhlas Mashadi (48) membuahkan hasil sekaligus membuka mata dunia. Bermula dari ide yang awalnya dianggap gila karena hendak membendung laut, ia berhasil menyelamatkan ratusan hektare lahan di kawasan pesisir utara Kabupaten Brebes, yang rusak akibat diterjang abrasi.
Kiprah bapak tiga anak itu dalam upaya menyelamatkan lingkungan pun kini tak diragukan lagi. Bukan hanya berbagai pihak di Tanah Air yang mengakuinya, sejumlah negara kini mempercayainya sebagai motivator dalam isu-isu lingkungan. Puncaknya, pada 2015 dia menginjakkan kaki di Istana Negara untuk menerima penghargaan Kalpataru. Benih kecintaan Mashadi terhadap kelestarian alam tumbuh saat dia terpuruk dan frustrasi akibat usaha tambak udang windu yang digelutinya hancur. Tahun 1997, pria asal Desa Pagejugan, Kecamatan/Kabupaten Brebes ini mencoba bangkit dengan mencari penyebab kehancuran usahanya.
Mashadi menyimpulkan, kerusakan lingkungan yang parah merupakan pemicu utama. Penebangan hutan bakau atau mangrove secara masif untuk tambak udang windu menyebabkan abrasi besar-besaran di pesisir pantura Brebes.
Itu kian diperparah oleh pemanasan global. Dari keprihatinan itu, pria lulusan Akademi Perdagangan Tjendekia Puruhita Semarang tahun 1994 tersebut bertekad memulihkan ekosistem pesisir melalui reboisasi mangrove. Namun, niat mulianya tak semudah membalikan telapak tangan. Banyak masyarakat menganggapnya tidak waras lantaran hendak ëímembendungíí arus laut dengan bakau. Berawal dari keputusan Mashadi hijrah ke kampung halaman istrinya, Muryati (41), di Dukuh Pandansari, Desa Kaliwlingi, Kecamatan Brebes tahun 2004, ia memulai perjuangannya.
Saat itu sekitar 1.900 hektare (ha) tambak warga di pedukuhan tersebut hilang diterjang abrasi dan berubah menjadi lautan. Sejumlah warga ia ajak untuk mewujudkan idenya, tetapi justru mereka menganggap mustahil. Mashadi tak kehilangan akal. Ia memutuskan bergabung dengan Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI). Dari organisasi ini, Mashadi mendapat tugas untuk mengedukasi masyarakat pesisir. Sosialisasi dengan memberikan gambaran dampak kerusakan lingkungan ia gencarkan, termasuk melalui berbagai film dokumenter. ”Saya dianggap gila. Namun ini justru menjadi pemicu semangat. Konsep yang saya tekankan, lebih baik menyalakan lilin daripada mengumpat kegelapan. Kenapa?
Kalau kami hanya meminta kepada pemerintah juga mustahil. Sebab, kerusakan lingkungan itu adalah isu global. Pemerintah tidak mungkin menangani sendirian. Jadi, saya mendorong masyarakat untuk berswadaya menjaga lingkungan,” ungkap Mashadi, ketika ditemui di rumahnya, Jumat (18/1).
Bantuan CSR
Pelan-pelan wawasan warga Dukuh Pandansari terbuka. Namun itu tak berjalan mudah. Semula, pada 2005, Mashadi berhasil mengajak 25 orang untuk memulai reboisasi. Namun, tiga tahun kemudian tinggal 11 orang. Mashadi lantas bertemu Rusjan, tokoh masyarakat Desa Kalilingi untuk bergerak mengajak masyarakat menyelamatkan lingkungan. Dari Rusjan yang juga mantan Kepala Desa Kaliwlingi itu, semangat warga kembali bangkit.
Mashadi juga menggandeng media massa. Perjuangannya mulai terpublikasi secara luas. Akhirnya, tahun 2008 Mashadi bermitra dengan Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) untuk melakukan reboisasi di pesisir. ”Masyarakat semakin percaya karena kami tidak sendiri. Semakin banyak warga yang bergabung hingga akhirnya kami membentuk Kelompok Mangrovesari,” ungkapnya.
Anak bungsu pasangan Rukyat (alm) dan Dasriah (alm) ini mengungkapkan, sejak 2008 sekitar 4.350.000 bibit mangrove telah ditanam. Bibit itu berasal dari bantuan 18 perusahaan swasta, organisasi sosial, pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten. Bibit ditanam di area seluas 250 ha, namun mampu memunculkan tanaman alami di lahan seluas 373 ha, sehingga total ada 623 ha lahan yang berhasil diselamatkan.
Lilin yang dinyalakan Mashadi dan kelompoknya kini semakin terang benderang. Tak hanya dukungan, kini bahkan banyak perusahaan dan LSM yang mengantre untuk mengucurkan dana corporate social responsibility (CRS) bagi kegiatannya tersebut. (Bayu Setiawan-19)
https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/161317/nyala-lilin-di-pesisir-brebes