JURNALTIMUR,COM,– Pulau Semau di Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur, barangkali belum semua dapat mengetahui dan mengenalnya. Kalau pun yang mengenal, maka sebagian dari perkenalan itu tidak lain dimaksudkan sebagai pulau terpencil dan dengan banyak stigma.
Tapi apa demikian ? Ternyata bila menukik lebih jauh ke dalam kehidupan masyarakat Pulau Semau, masyarakat justru menyuguhkan kehidupan yang lebih arif baik dalam hal melestarikan budaya, menjaga iklim maupun berjibaku menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang kian mudah berubah.
Hari ini, Rabu 14/12/2016, bertempat di Kekini Cafe-Cikini Jakarta berlangsung peluncuran dan Diskusi buku “Semau Beta : Suara-suara dari Pulau Magis”. Acara dibuka dengan kisah burung sebagai inspirasi desain tenun yang disampaikan Adinindyah, pendiri Lawe Indonesia.
Buku yang menyuguhkan gambar dan tulisan yang dikerjakan penulis-penulis dari semau ini, menyuguhkan realitas masyarakat yang membawa pembaca untuk lebih dalam melihat kehidupan masyarakat Pulau Semau.
“ Dulu sekitar tahun 1980-an, kami sering mengalami stigma, karena pulau kami sering disebut sebagai pulau suwanggi. Tapi sekarang tidak. Bahkan kami berbangga karena banyak yang datang mempelajari kearifan yang ada di daerah kami,” kata Samaya Thomas,warga Semau yang juga penulis buku ini dalam diskusi itu.
Selain Samaya Thomas, hadir sebagai pembicara Yurgen Nubatonis,dari perkumpulan PIKUL Kupang dan salah satu penulis buku ini. Yurgen menulis tentang seorang penenun asal Semau dan tradisi-tradisi yang mulai hilang di sana. Sementara pembicara lain editor buku Dicky Lopulalan dan kurator Budi Chandra.
Dicky Lopulalan,menjelaskan proses kerja dalam pebuatan buku ini yang semuanya melibatkan penulis dari Semau. Kata Dicky, tidak semua penulis telah terbiasa dengan kerja menulis, karena itu harus melewati satu proses lain yakni memindahkan bahasa lisan ke bahasa tulis dan hal itu dapat dilalui dan menghasilkan sebuah ceritra yang dapat dibaca semua kalangan.
Semau pulau yang persis ada di depan kota Kupang, Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Foto dan gambar yang ditampilkan dalam buku lebih banyak berceritra tentang hidup keseharian masyarakat yang jauh dari hingar bingar kehidupan kota kupang.
Melihat satu persatu halaman buku ini, pembaca akan menyaksikan bagaimana masyarakat berpacu dalam kehidupan ekonomi dengan usaha rumput laut. Tapi ada juga ceritra tentang susahnya air, dan pembangunan infrastruktur masih jauh dari harapan. Ceritra tentang perempuan, ibu dan mama-mama yang beraktivitas dari pagi hingga malam juga menjadi bagian lain dalam memperhatikan satu persatu gambar yang disajikan.
Nusa Bungtilu adalah nama asli Pulau Semau. Nusa Bungtilu memiliki arti sebagai Pulau Bunga Tiga Warna. Bunga di sini bukan bunga yang biasanya kita kenal, tetapi kapas yang dipakai untuk menenun kain adat. Nusa Bungtilu bisa juga disebut sebagi cikal bakal terbentuknya tenun adat dari beberapa suku di Nusa Tenggara Timur, di mana tiga warna yang dimaksud adalah tiga warna kain adat dari suku Helong (penduduk asli), kemudian untuk Suku Timor, dan Suku Rote.
Untuk Suku Helong warna dominan kain adatnya adalah warna putih (di antara warna merah), untuk Suku Timor warna dominan kain adatnya adalah warna merah, sedangkan untuk kain adat Rote warna dominan kain adatnya adalah hitam.
Masyarakat pulau Semau umumnya hidup dari pertanian holtikultura. Sejak dahulu pertanian Pulau ini dapat menghasilkan semangka, yang lebih akrab dikenal dengan buah poteka sebelum akhirnya banyak warga yang terlibat dalam usaha rumput laut dan pertanian tanaman bawang.
Selain itu Pulau ini merupakan penghasil tomat (paling dominan di desa Otan (utara)), bawang merah (paling dominan di desa Uitiuhuan dan Naikean (selatan)), kacang tanah (paling dominan di desa Otan (utara)), kacang hijau, jagung (paling dominan di desa Otan (utara)), dan sayur-sayuran (paling dominan di desa Otan (utara)) yang dapat dipasarkan ke Kota Kupang.
Peternakan yang paling dominan di Pulau ini adalah sapi, kambing, babi dan ayam kampung, yang dapat dipasarkan juga ke Kota Kupang. Kelautan Pulau Semau bisa dibilang menghasilkan beragam hasil laut. Sejak dahulu telah menghasilkan cumi, ikan, teripang, dan rumput laut.
Secara ringkat buku tersebut mengupas kerja-kerja yang dilakukan oleh komunitas untuk menyelamatkan pulau kecil yang rentan terhadap bencana akibat perubahan iklim serta berbagai cerita yang dirangkai bersama dengan teman-teman penulis asal Pulau Semau, Kabupaten Kupang, Nusa tenggara Timur.
Bersamaan dengan peluncuran diadakan pameran dan diskusi.
“Pameran dan peluncuran dua produk terasmitra ini adalah untuk berbagi ceritra dan pengetahunan. Kami percaya ceritra dan pengetahunan ini penting untuk diketahui oleh publik. Kami juga percaya bahwa ceritra tidak hanya dapat diterjemahkan lewat laporan atau teks book tapi bisa juga dikemas ke dalam bentuk yang lebih accessible dan menarik. Misalnya berceritra tentang burung lewat motif tenun lurik atau dengan coffie table book yang berisikan foto dan narasi,” ujar Catharina Dwihastarini, koordinator Nasional GEF –SGP Indonesia. (Ben)
Sumber : https://www.jurnaltimur.com/2016/12/semau-beta-peluncuran-dan-bedah-buku.html