
(10/6) Sisa hujan semalam menggantung di ujung daun pinus, seolah menyimak bisikan keresahan dari kamp tenda yang berjejer di antara tegakan pohon. Di jantung Hutan Pendidikan Unhas, suara-suara dari desa, kampus, dan pemerintah bertemu dalam satu simpul: menyelamatkan hutan, menyelamatkan hidup.
Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin di Makassar menjadi lebih dari sekadar ruang riset. Pada Senin, 9 Juni 2025, kawasan seluas 1.300 hektare ini menjelma jadi panggung utama bagi diskusi multipihak tentang perubahan iklim, keberlanjutan hutan, dan strategi perhutanan sosial berbasis komunitas.
Forum ini menyatukan masyarakat adat, akademisi, hingga birokrat dalam ekosistem kolaboratif yang menjawab tantangan agroforestri dan krisis iklim—tema yang kian genting di Sulawesi dan seluruh Indonesia.
Dekan Fakultas Kehutanan Unhas membuka sesi dengan refleksi optimistik.
“Masyarakat kini tak lagi hanya diajari, tapi justru jadi pelaku utama.”
Sebanyak 109 warga kini aktif dalam pengelolaan hutan: berkebun, beternak, menyadap pinus dan aren, hingga mengembangkan ekowisata edukatif.
Fasilitas seperti dapur umum, arboretum, dan stasiun riset memperkuat fungsi kawasan ini sebagai laboratorium hidup—bukan hanya bagi mahasiswa, tapi juga bagi petani dan pelaku desa.
Rakyat sebagai subjek, bukan objek
Dr. Bambang Supriyanto, mantan Dirjen PSKL KLHK, menegaskan bahwa perhutanan sosial adalah strategi nasional yang menempatkan rakyat sebagai subjek, bukan objek.
Dari total 25.863 desa di sekitar hutan, 36,7% tergolong miskin. Dengan skema seperti hutan desa, HKm, kemitraan, hutan adat, dan hutan tanaman rakyat, masyarakat diberikan akses legal untuk mengelola hutan secara berkelanjutan.
“Dampaknya sangat terasa. Desa yang dulunya tergantung bantuan, kini jadi desa mandiri,” ujarnya. Komoditas seperti aren bahkan disebut lebih menjanjikan secara ekonomi dibanding sawit atau karet.
Suara dari Bulukumba
Sementara Abdul Haris dari BUMDes Tumarila mengangkat tantangan di daerah terpencil seperti Bulukumba. Menurutnya, aren memang potensial, tapi juga menyedot banyak kayu untuk bahan bakar. “Solusinya, tungku hemat energi,” tegasnya.
Senada, Hasri dari Balang Institute menyebut bahwa koperasi seperti Dana Mitra Tani di Bulukumba sudah mulai mengembangkan solusi energi terjangkau untuk produksi gula aren.
Diskusi ini juga menyorot realitas iklim yang kian ekstrem. Dr. Sidi Rana Manggala dari GEF SGP Indonesia menunjukkan data bahwa penurunan produksi kopi, gula aren, dan rumput laut akibat krisis iklim kini menjadi ancaman nyata.
Petani di Bulukumba kehilangan kejelasan musim tanam, menghadapi hama ganas seperti kutu buah kopi, dan kehilangan hingga 50% produksi rumput laut akibat pemutihan laut.
“Kami ingin bangun sistem agroforestri yang tahan krisis, berbasis pengetahuan lokal,” tegas Sidi.
Prof. Samuel dari Unhas dan Abdul Haris dari Bumdes Tumarila memperkuat narasi bahwa solusi teknologi hemat energi, riset berbasis lokalitas, dan adaptasi budaya sangat penting.
“Satu jenis pohon bisa gagal berkembang hanya karena sifat alelopati. Itu butuh riset yang serius,” kata Samuel.
Hasri dari Balang Institute juga menambahkan pentingnya koperasi dan akademisi bersinergi. “Kami butuh teknologi murah yang bisa dimiliki petani, bukan proyek mahal yang ditinggal,” ujarnya lugas.
Diskusi ditutup dengan pemaparan proyeksi iklim oleh Prof. Andang Soma. Ia mengingatkan bahwa wilayah DAS Balantieng di Bulukumba mengalami penurunan curah hujan yang mengancam pertanian dan pemukiman.
“Solusinya adalah menanam kakao dan kopi untuk menjaga iklim mikro,” ujarnya. Hilangnya tutupan mangrove di hilir juga meningkatkan abrasi pantai. Perubahan iklim bukan sekadar narasi akademik, tapi realitas harian masyarakat.***
Sumber: https://wartabulukumba.pikiran-rakyat.com/sulsel/pr-879405643/gef-sgp-dorong-kolaborasi-atasi-krisis-iklim-lewat-diskusi-multipihak-di-hutan-pendidikan-unhas?page=all

