
(18/11/2025) International Sustainable Rice Forum (ISRF) 2025 menghadirkan sesi pleno II yang berfokus pada masa depan beras berkelanjutan dan upaya global menghadapi tantangan pangan pokok dunia. Diskusi ini tidak hanya menyoroti urgensi transformasi sektor perberasan, tetapi juga mencari solusi konkret melalui inovasi teknologi, model pembiayaan baru, dan kolaborasi lintas sektor.
Dengan tema “Pendorong Perubahan: Memobilisasi Pasar, Keuangan Karbon, Donor, dan Pemerintah untuk Mempercepat Keberlanjutan Beras”, forum ini mempertemukan pemimpin dari sektor publik, swasta, serta lembaga penelitian global. Bertempat di Discovery Ancol, Jakarta Utara, pada Senin (17/11/2025), sesi ini menjadi ajang berbagi wawasan dan strategi untuk memperkuat ketahanan pangan dunia di tengah perubahan iklim yang semakin kompleks.
Urgensi Transformasi Sektor Beras
Paparan utama disampaikan oleh Alan Johnson, Senior Operations Officer di International Finance Corporation (IFC), bagian dari Grup Bank Dunia yang berfokus pada pembangunan sektor swasta, sekaligus Ketua Dewan Direksi Sustainable Rice Platform (SRP).
Dalam sambutannya, Johnson menegaskan bahwa beras memegang peranan vital dalam keamanan pangan global, penghidupan jutaan petani, serta dampaknya terhadap emisi karbon dan penggunaan air.
Meski berbagai teknologi pertanian berkelanjutan seperti Alternate Wetting and Drying (AWD) dan benih tahan penyakit telah tersedia lebih dari dua dekade, adopsinya masih sangat rendah.
“Hanya sekitar 5 hingga 6 persen dari total produksi beras global yang dapat dikategorikan berkelanjutan,” ungkap Johnson. Ia menambahkan, perubahan ini membutuhkan kombinasi insentif pasar, pembiayaan inklusif, serta perubahan perilaku di tingkat petani.
Kolaborasi Lintas Sektor: Dari Aksi Lokal ke Dampak Global
Setelah paparan utama, Johnson mengundang sejumlah panelis untuk berdiskusi, antara lain Sidi Rana Menggala (Koordinator Nasional GEF SGP Indonesia), Anoushka Harris (Sustainability Manager Associated British Foods), Senthilkumar Kalimuthu (Program Leader Africa Rice), dan Arjumand Nizami (Pakistan Country Director Helvetas).
Dalam diskusi, Sidi Rana Menggala menyoroti kiprah Global Environment Facility Small Grants Programme (GEF SGP) di Indonesia sejak 1997. Program tersebut berfokus pada aksi lokal berdampak global, termasuk pengurangan emisi gas rumah kaca di area lebih dari 2.500 hektare.
“Program kami berdampak langsung pada 86 kelompok masyarakat, masing-masing mengelola dana hibah antara USD 10.000 hingga USD 50.000, atau sekitar Rp167 juta hingga Rp838 juta,” jelasnya.
Sidi menjelaskan bahwa salah satu tantangan terbesar adalah mengubah perilaku petani yang cenderung menghindari risiko. Ia menekankan pentingnya menyamakan bahasa dengan petani agar inisiatif karbon tidak hanya menjadi jargon global, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan mereka secara nyata.
Sebagai contoh, GEF SGP Indonesia menjalankan program pertanian berkelanjutan di Sulawesi Selatan, melibatkan lebih dari 200 petani di 15 desa. Program ini mendorong transisi dari penggunaan pestisida ke pupuk organik serta memperkuat hubungan komunitas melalui learning circle atau lingkar belajar.
“Kami mungkin satu-satunya lembaga di Indonesia yang masih memberikan hibah langsung kepada petani dan inisiatif lokal. Karena itu, kami ingin memperluas kolaborasi dengan kementerian dan pemerintah daerah agar dampaknya lebih luas,” tambahnya.

Perspektif Global tentang Keberlanjutan Beras
Dari sisi industri, Anoushka Harris dari Associated British Foods menjelaskan bahwa penerapan standar SRP bukan hanya untuk kepentingan bisnis, tetapi juga untuk mendorong dampak sosial dan lingkungan yang positif.
Namun, tantangan terbesar menurutnya ada pada sisi komunikasi kepada konsumen.
“Konsumen Inggris misalnya, belum memahami sepenuhnya konsep keberlanjutan. Narasi yang efektif adalah mengaitkannya dengan kesehatan dan nutrisi, bukan sekadar klaim penghematan air,” ujarnya.
Sementara itu, Senthilkumar Kalimuthu dari Africa Rice memaparkan kondisi benua Afrika yang masih mengimpor sekitar 40% dari total konsumsi beras sebesar 48 juta ton per tahun. Nilainya mencapai USD 8,2 miliar (Rp137 triliun) per tahun.
Menurutnya, adopsi sistem beras berkelanjutan adalah langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan impor. Afrika memiliki peluang untuk langsung mengimplementasikan teknologi ramah lingkungan tanpa harus mengulang langkah-langkah inefisien yang pernah dilalui Asia.
Adapun Arjumand Nizami dari Helvetas Pakistan menyoroti soal premi harga bagi petani. Menurutnya, sistem insentif sementara memang memotivasi petani, tetapi tidak berkelanjutan dalam jangka panjang.
Ia berpendapat bahwa insentif yang lebih efektif justru datang dari penurunan biaya produksi, jaminan pasar, serta peningkatan layanan pertanian.
“Intinya, kita perlu membangun business case yang kuat untuk menjadikan keberlanjutan sebagai pilihan rasional dan menguntungkan bagi petani,” tegas Nizami.
Menuju Beras Berkelanjutan Sebagai “Normal Baru”
Kesimpulan dari sesi ini menegaskan bahwa transisi menuju sistem perberasan berkelanjutan membutuhkan kemitraan multi-pemangku kepentingan yang solid — mulai dari pemerintah, lembaga riset, sektor swasta, hingga petani.
Pendekatan publik-swasta yang holistik menjadi kunci untuk membawa beras berkelanjutan dari sekadar proyek percontohan menjadi “normal baru” dalam produksi global.
Dengan investasi yang tepat, edukasi berkelanjutan, serta dukungan kebijakan inklusif, transformasi ini bukan hanya memungkinkan, tapi juga menjadi fondasi penting bagi masa depan pangan dunia yang tangguh, adil, dan hijau.
Sumber: https://daily-life.id/9092-20-november-2025-news-international-sustainable-rice-forum-2025-kolaborasi-global-untuk-masa-depan-pangan-dunia/


Add comment